Setelah Puncak Haji 2025: Saat Si Nenek Harus Berjuang Sendiri tanpa Pegangan

oleh -669 Dilihat
HAJI FAIZ

OLEH: FAIZ ABDALLA*)

MALAM itu begitu padat. Terasa betul hiruk pikuk jemaah. Seorang nenek tampak tertatih dan terseok menaiki bus. Punggungnya tertunduk. Menahan berat tas yang menggantung. Tangannya gemetar saat mencoba melepaskan beban itu. Si nenek tahu, ia tak akan sanggup menaiki tangga bus tanpa melepaskan beban itu lebih dulu. Di sekelilingnya, puluhan orang lain berdesakan, berebut tempat, berlomba dengan waktu dan kelelahan.

Ia sendirian. Memang, ada si anak yang mendampinginya. Namun, telah terpisah kafilah. Entah sejak kapan. Dalam lautan manusia tersebut, si nenek itu hanyalah satu dari sekian banyak lansia yang harus menempuh prosesi puncak haji seorang diri. Wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, hingga lempar jumrah di Mina. Semuanya dijalani tanpa tampak pendamping, tanpa seorang pegangan yang akrab.

Potret pilu seperti itu rasanya bukan hal langka pada puncak haji tahun ini. Banyak jemaah lansia kehilangan pasangan atau pendampingnya. Suami terpisah dari istri. Difabel terlepas dari pendamping. Semua karena satu hal. Pengorganisasian jemaah yang terbilang amburadul sejak awal. Dimulai dari penempatan hotel yang tidak mengelompokkan sesuai KBIH dan kloter secara utuh, hingga puncaknya di Armuzna, saat ratusan ribu jemaah harus dipindahkan dalam sistem yang serba darurat.

Armuzna 2025 memang berbeda. Pemerintah menerapkan sistem baru. Pengelompokan kafilah lintas KBIH dan kloter. Ide dasarnya mungkin baik. Efisiensi dan penyamarataan layanan dengan sistem multi-syarikah. Sayangnya, pelaksanaannya masih cukup jauh panggang dari api. Satu kafilah terdiri atas potongan-potongan jemaah dari berbagai latar belakang, yang bahkan baru bertemu dua hari sebelum keberangkatan ke Arafah. Waktu yang terlalu singkat untuk membangun kepercayaan dan koordinasi.

Yang lebih rumit lagi, ketua kafilah dan pengurusnya juga ditunjuk secara acak. Tak ada proses seleksi berdasarkan kedekatan atau kesiapan. Mereka asing satu sama lain. Sedangkan tanggung jawab yang dipikul terbilang sangat besar. Mengorganisasi ratusan jemaah dengan latar literasi dan kondisi fisik yang beragam.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana sistem ini menimbulkan kekacauan. Di kafilah saya, keberangkatan ditentukan berdasar abjad nama. Konsekuensinya, pasangan suami-istri terpisah. Lansia dan difabel tidak bersama pendampingnya. Beberapa jemaah bahkan tertinggal karena bingung dengan jadwal pemberangkatan yang berubah-ubah.

Saya pun baru keluar dari Arafah pukul 02.00 waktu setempat. Sudah molor jauh dari jadwal. Karena tidak memungkinkan mabit, saya dan beberapa jemaah lain hanya sempat murur di Muzdalifah. Itulah satu-satunya opsi. Sebab, kami sudah terpencar dari rombongan besar sejak awal. Pengorganisasian dua hari sebelum pelaksanaan, nyatanya tak cukup untuk menyiapkan sistem yang kuat.

Masalah tak berhenti di situ. Banyak jemaah terlantar di Muzdalifah, menunggu bus yang tak kunjung tiba. Banyak yang akhirnya berjalan kaki ke Mina. Sampai di sana pun, drama belum usai. Tidak semua mendapatkan tenda. Ada yang harus mondar-mandir berjam-jam, memanggul barang, mencari tempat berteduh, tanpa peduli tenda itu milik siapa. Beberapa akhirnya mengungsi di masjid, mencari tempat duduk dan sejenak melepaskan lelah.

Distribusi konsumsi juga tak merata. Beberapa blok tenda mendapatkan makanan sesuai jadwal. Tapi sebagian lain tidak, terlambat, atau bahkan tidak menerima sama sekali. Lagi-lagi, persoalan ini akibat sistem pengelompokan kafilah yang terkesan dipaksakan.

Jika kita mau jujur, segmen jemaah yang bisa menghadapi sistem dan kondisi seperti musim ini hanya sebagian kecil saja. Mereka yang muda, sehat, dan melek teknologi. Mereka mampu beradaptasi dengan cepat, bisa mengakses informasi secara mandiri, dan tidak terlalu bergantung pada sistem. Tapi, bukankah mayoritas jemaah haji Indonesia lansia? Mereka adalah bapak, ibu, dan kakek-nenek yang sudah berusia 50 tahun ke atas.

Berapa kali saya harus membantu lansia yang tersesat arah pulang dari Masjidil Haram? Bahkan sekadar naik lift pun banyak yang kesulitan. Tak tahu tombol mana yang harus ditekan, salah lantai, lalu panik.

Karena itulah, sangat disayangkan saat struktur yang sudah dibangun sejak manasik di Tanah Air—seperti kloter dan KBIH—seolah ’’rusak’’ begitu saja di Makkah. Padahal, di dalamnya sudah ada sistem Karom dan Karu, pembimbing yang mengenal baik kondisi masing-masing jemaahnya. Mereka mengetahui siapa yang perlu bantuan ekstra. Butuh atensi khusus. Mereka pun paham siapa yang berisiko tinggi.

Mengapa struktur itu dilepas begitu saja? Apakah tidak bisa kita tetap mempertahankan kelompok KBIH dan kloter, walaupun menggunakan sistem multi-syarikah? Bukankah peran syarikah hanyalah sebagai penyedia layanan dan operator?

Yang menciptakan rasa aman dan nyaman adalah relasi antarjemaah. Rasa kebersamaan, persaudaraan, dan saling mengenal. Itu tak bisa dibentuk dalam dua hari. Tapi, bisa dijaga lewat sistem kelompok yang sudah terbentuk sejak dari kampung halaman.

Setelah puncak haji tahun ini, satu hal menjadi sangat jelas. Sistem harus dibenahi. Evaluasi total. Menyeluruh. Multi-syarikah bukan masalah, jika dilaksanakan dengan prinsip keberpihakan dan kesiapan. Namun, jemaah haji Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar operator. Mereka butuh struktur pengorganisasian yang manusiawi, yang melihat jemaah bukan sekadar angka atau nama dalam data.

Jangan biarkan lagi seorang nenek menapaki bus sendirian, di tengah malam, dengan beban berat di punggung dan tanpa siapa pun untuk menggenggam tangannya. (*)

*) FAIZ ABDALLA, Jemaah Haji KBIH Aswaja Semen Indonesia 2025

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Supardi Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.