OLEH: FAIZ ABDALLA*)
BIAYA atau ongkos demokrasi di negeri ini kian mahal. Proses keterpilihan kepala daerah kian mempersyaratkan modal dan rogokan uang yang tak sedikit. Proses demokrasi atau keterpilihan politik kini semakin dikonotasikan dengan pertarungan kekuatan modal dan logistik.
Kontestasi justru menjadi sangat dipersempit. Tidak lagi memandang siapa figur, pun bagaimana latar belakang leadership-nya. Alih-alih mendesain dan merumuskan terwujudnya kesejahteraan umum lokal, kontestasi justru menjadi gelanggang siapa yang mampu menggelontorkan modal untuk membayar kebutuhan pasar politik di masyarakat.
Dan benar, hajatan besar kontestasi politik tersebut masih sering kali justru tidak menghasilkan kepemimpinan berkualitas. Proses yang disebut demokratis tersebut, ternyata tak selalu berbanding lurus dengan angan-angan demokrasi itu sendiri. Mekanisme pemilihan langsung yang katanya paling merepresentasikan apa itu demokratis, nyatanya hanya megah dan berhamburan pada aspek proseduralnya, tapi tidak mencapai inti substansi dari demokrasi yang diharapkan.
Polemik dan kontroversi kepemimpinan yang terjadi di Kabupaten Pati akhir-akhir ini barangkali dapat menjadi salah satu contoh bagaimana menjelaskan deskripsi di atas.
Sejatinya, tak sebanding memang tuntutan mundur atau pemakzulan atas Bupati Pati yang baru terpilih. Toh, apa yang menjadi sebab awal, yakni kebijakan kenaikan pajak daerah, telah dibatalkan oleh Bupati. Jadi, sebenarnya ini hanya perihal komunikasi dan evaluasi kebijakan saja. Harusnya selesai cukup pada manajemen kebijakan saja, tidak melebar ke mana-mana.
Tapi, kuatnya desakan dan resistensi dari warga belakangan menandakan bahwa ada nurani yang telah terciderai. Sehingga gelombang penolakan terhadap Bupati terus membuncah. Bagaimanapun, mengelola aspirasi sejak awal protes hingga terjadinya gelombang besar demo pada tanggal 13 Agustus kemarin, butuh energi yang tak sedikit. Dan itu hanya mungkin bila didasari rasa kecewa dan untrust yang mendalam.
Setidaknya, kuatnya desakan mundur atau resistensi terhadap Bupati mengindikasikan dua hal. Pertama, komunikasi kepemimpinan yang buruk. Harus diakui, beberapa daerah juga menaikkan pajak PBB, bukan hanya Pati. Mungkin juga benar, ini ada relevansinya dengan kebijakan fiskal perimbangan pusat-daerah. Sehingga relatif, mungkin ada benarnya juga apa yang disampaikan Bupati, bahwa secara historis dan rasional kenaikan pajak tertentu memang dibutuhkan bagi daerah. Tapi, bagaimanapun itu harus tetap disampaikan dengan baik ke masyarakat, baik bersifat edukatif maupun persuasif.
Kedua, yakni proses teknokrasi yang tidak berpondasikan kuat. Pada poin kedua ini penting dipahami, bahwa narasi-narasi politik yang melalui proses dialogis ketika masa kampanye akan diformulasi menjadi narasi teknokratis ketika sang kepala daerah tersebut terpilih. Janji-janji dan kontrak politik tersebut selanjutnya akan dikonstruksikan menjadi sebuah dokumen pembangunan formal dan sistematis, yakni RPJMD.
Pada RPJMD, kerangka-kerangka pembangunan daerah disusun secara cermat dan menyeluruh. Dimulai dengan mengurai isu, permasalahan, kondisi, serta potensi eksisting daerah, hingga memformulasi visi, arah kebijakan, strategi, dan program prioritas daerah. Tidak kalah penting lainnya di dalamnya adalah mengagregat sumber daya dan anggaran yang dapat dimanfaatkan untuk meng-cover kebutuhan pembangunan.
Dari situ akan dihitung rasio anggaran dari pendapatan untuk keperluan belanja program. Sekiranya tidak mencukupi atau ada kendala-kendala fiskal, seperti berkurangnya anggaran transfer pusat ke daerah, maka akan dipersiapkan pola-pola antisipasi dan mitigasinya. Nah, di sini komunikasi kebijakan menjadi krusial. Baik secara formal dengan mitra pemerintah daerah, yakni DPRD, maupun secara material dengan masyarakat langsung. Perlu ditawarkan dan didiskusikan bersama opsi-opsi atau berbagai alternatif rasio anggaran yang bisa disepakati.
Ketika alur-alur berpikir teknokratis dilakukan dengan baik, benar-benar presisi membidik target dan rasionalitas sumber daya, sembari menuntut diri untuk kreatif dan inovatif dalam membuka sumber-sumber pendapatan lain, tentunya dengan memperhitungkan kondisi dan kerentanan-kerentanan di masyarakat. Maka, mudah sebenarnya mengajak bicara dan berdialog dengan masyarakat ketika sebuah pemerintahan sudah mampu mengenali kapasitas dan arahnya sendiri.
Tidak kemudian justru petantang-petenteng, pongah, bersikap satu arah. Kebijakan kenaikan dipaksakan, mengabaikan aspirasi masyarakat, dan justru menantang masyarakatnya sendiri. Diperparah dengan sikap arogan PJ Sekda-nya yang terkesan mengerdilkan aspirasi warganya dengan dalih ketertiban umum. Sekarang, sikap dan apa yang ditunjukkan Bupati dengan PJ Sekda-nya justru menjadi bumerang. Bagaimanapun, upaya kumulasi aspirasi atau ekspresi politik masyarakat di Pati tersebut bukanlah hal kecil, segelintir, dan bisa diremehkan. Sampai-sampai pemerintah pusat pun memberi perhatian.
Satu hal penting lain dari kejadian di Pati ini adalah bahwa para kepala daerah akan memperhitungkan kekuatan demokrasi dua arah, yakni pengawasan dan monitoring dari masyarakat. Harus diakui, demokrasi sejauh ini berjalan ke arah anasir-anasir feodal. Ketika kepala daerah terpilih, tak terlalu penting baginya apakah pemerintahannya berjalan secara teknokratis atau tidak. Yang lebih penting baginya adalah ia merapat dan mendekatkan diri ke kelompok dan partai penguasa, berlutut dan berlindung diri ke penguasa di tingkat pemerintahan teratas. Sehingga sering mengabaikan kepentingan aspiratif masyarakat. (*)
—
*) FAIZ ABDALLA, mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Punya gagasan menarik tentang isu terkini? Ayo suarakan di platform KabarBaik.co. Kami mengundang Anda untuk mengirimkan tulisan opini/artikel dengan ketentuan: Panjang: 650 – 800 kata, format Dokumen Word (.doc/.docx), Kirim ke: redaksi@kabarbaik.co dengan subjek Opini – (Judul Tulisan). Sertakan juga nama lengkap, profesi/pekerjaan, nomor telepon, dan foto Anda. Kami tunggu kontribusi terbaik Anda!