MUSIBAH robohnya gedung musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Sidoarjo, Senin (29/9), menyisakan luka mendalam. Bukan hanya karena korban yang jatuh, tapi juga karena di atas reruntuhan itu masih sempat terucap pernyataan yang bisa menambah getir. Bupati Sidoarjo, Subandi, menyebut bahwa bangunan tersebut tidak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB).
Mari kita akui, secara substansi, apa yang dikatakan Subandi bisa jadi benar. Tidak sedikit bangunan di lingkungan pesantren, masjid, bahkan sekolah, yang berdiri tanpa prosedur perizinan lengkap. Ada semacam “kebiasaan” membangun dulu, urus izin kemudian. Fenomena ini nyata adanya.
Namun, yang keliru adalah momentumnya. Dalam tradisi Jawa, ada pernyataan: bener ning ora pener. Ucapan itu terlontar di tengah suasana duka, ketika masyarakat, keluarga korban, dan jemaah pesantren masih diselimuti kesedihan. Pada titik itu, tentu publik tidak membutuhkan penjelasan birokratis. Mereka menanti empati, kepedulian, dan komitmen penanganan korban. Bukan justifikasi administrasi.
Di saat petugas masih mengevakuasi reruntuhan, yang semestinya muncul dari seorang kepala daerah adalah kalimat penguat: memastikan seluruh korban tertangani, menjamin pemerintah hadir sepenuhnya, serta menegaskan bahwa musibah ini tidak akan terulang. Setelah itu, barulah berbicara tentang aspek hukum, perizinan, dan standar konstruksi.
Sebab, musibah seperti ini seharusnya menjadi muhasabah kolektif. Pemerintah mesti lebih ketat dalam pengawasan, memberikan kemudahan sekaligus pendampingan agar lembaga pendidikan berbasis masyarakat tidak lagi abai soal izin. Sementara, pengelola pesantren dan tempat ibadah harus sadar bahwa izin bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari memastikan keselamatan jiwa.
Kita tidak bisa terus membiarkan tradisi “bangun dulu, izin belakangan” hidup di tengah masyarakat. Tetapi kita juga tidak boleh membiarkan narasi teknis mengalahkan rasa kemanusiaan di saat duka. Seorang pemimpin diuji bukan hanya pada ketegasan regulasi, tetapi juga pada ketepatan rasa dan tutur kata.
Reruntuhan musala Al Khoziny adalah alarm keras. Bukan sekadar soal IMB, melainkan soal bagaimana kita memuliakan kehidupan dengan memastikan setiap bangunan tempat ibadah dan pendidikan berdiri kokoh, aman, dan layak. Pada akhirnya, dari puing-puing ini, yang dibutuhkan bukan saling tuding, melainkan empati, evaluasi, dan solusi. (*)






