KabarBaik.co – Selama 30 tahun terakhir, Muhammad Basar (64), warga asli Pemalang, Pekalongan, Jawa Tengah, setia melestarikan jajanan tradisional gulali. Sejak menetap di Kota Malang pada tahun 1971, Basar kini dikenal sebagai penjual gulali keliling yang kerap hadir di berbagai kegiatan masyarakat.
“Sudah nggak ngapak-ngapak lagi. Biasanya, kan ngomong ngapak-ngapak,” ujarnya sambil tersenyum saat ditemui di HUT ke-24 Kota Batu depan kantor Desa Tlekung, Kecamatan Junrejo, Sabtu (11/10).
Basar mengaku keahliannya membuat gulali merupakan warisan keluarga yang diturunkan dari sang ayah. Ia menyebut, modal pembuatan gulali hanya sekitar Rp 75 ribu, namun jika dihitung dengan peralatan dan perlengkapan jualan totalnya mencapai Rp 2 juta.
“Bahan gulali ini dari gula premium, pewarna makanan, dan air. Cara buatnya, air dicampur gula lalu direbus sampai mendidih dan mengental,” jelasnya.
Pria yang telah berkeluarga dengan dua anak ini mengatakan, penghasilannya tidak menentu setiap hari. Biasanya, ia berjualan di sekitar sekolah-sekolah dan TPQ dengan harga Rp 5 ribu hingga Rp 6 ribu per gulali. Namun sejak adanya sistem sekolah full day, penghasilannya mengalami penurunan.
“Sekarang anak-anak sekolah uangnya habis buat beli makanan di kantin. Jadi kadang sehari cuma dapat Rp75 ribu, kadang juga nggak sampai,” ungkap Basar.
Untuk menyiasati kondisi tersebut, Basar kini lebih sering berjualan di acara-acara besar seperti Tempo Dulu, Malang Jadul, Ketawanggede Tempo Dulu, maupun Kampung Cempluk. Di acara semacam itu, harga gulali bisa mencapai Rp10 ribu per biji karena adanya biaya sewa tempat.
“Saya sekarang jualan lebih sering di acara seperti itu. Harapannya bisa lebih mudah cari rezeki,” tuturnya. Meski hanya berjualan menggunakan sepeda motor, Muhammad Basar tetap semangat menekuni profesinya. Baginya, gulali bukan sekadar jajanan manis, tetapi juga warisan budaya yang perlu terus dijaga agar tidak hilang ditelan zaman. (*)