Supersemar; Cerita Mencekam, Mistis, dan Tafsir Soeharto (1)

Editor: Muhammad S.
oleh -199 Dilihat
Soeharto berada di belakang Soekarno, Maret 1966 (capture Historia.id/berryl barney/gettyimage.com)

KabarBaik.co- Hari ini (11/3), tepat 58 tahun silam, terjadi pergolakan politik luar biasa di Indonesia. Sejarah peralihan kekuasaan. Dari Presiden RI pertama Soekarno kepada Presiden Soeharto (bapak mertua Prabowo Subianto). Perpindahan tampuk kepemimpinan itu menandai perubahan era. Dari Orde Lama ke Orde Baru.

Peralihan kekuasaan tersebut diawali dengan Surat Perintah 11 Maret. Lebih dikenal dengan akronim (singkatan): Supersemar. Banyak cerita seru dan menarik dengan beragam versinya di balik Supersemar tersebut. Termasuk cerita bernuansa mistis.

Dikutip dari Historia.id, menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam Dialog Sejarah Supersamar: Kontroversi Arsip Surat Peralihan Kekuasaan Sukarno ke Soeharto, sejak 9 Maret, Soekarno telah didesak untuk menyerahkan kekuasaan. Pada saat itu, dua pengusaha yang dekat dengan Bung Karno, yakni Dasaad dan Hasjim Ning, datang ke Istana Bogor.

Kedua pengusaha yang diutus oleh Alamsyah Ratoe Prawiranegara itu membawa surat dari Soeharto. Isinya, Soekarno diminta menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Soeharto. Peristiwa ini diakui Hasjim Ning dan Alamsyah dalam biografi masing-masing.

’’Kedua pengusaha itu disuruh meminta atau membujuk Presiden Soekarno untuk menyerahkan pemerintahan sehari-hari kepada Soeharto. Soekarno tetap menjadi presiden, tetapi kekuasaan pemerintahan sehari-hari itu dipegang atau diserahkan kepada Soeharto,” jelas Asvi seperti dilansir di YouTube dan Facebook Historia.id, Jumat (12/4/2021)

Bung Karno tentu saja marah. Ia bahkan melemparkan asbak kepada Hasjim Ning. “Apa kamu disuruh Soeharto datang ke sini?” kata Soekarno pada Hasjim sebagaimana dikutip AA Navis dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang.

Baca juga:  Jokowi Resmikan Bandara Mutiara SIS Al-Jufri di Kota Palu, Sulawesi Tengah

Upaya itu tak membuahkan hasil. Langkah lebih keras pun dijalankan. Massa digerakkan. Berdemo di depan Istana Merdeka pada 11 Maret. Massa bukan hanya dipenuhi oleh para mahasiswa, melainkan juga pasukan Kostrad yang dipimpin Kemal Idris.

’’Penempatan pasukan Sarwo Edhie Wibowo tanpa inisial itu dimulai akhir Februari atau awal bulan Maret 1966. Tujuannya adalah melakukan penangkapan terhadap Soebandrio. Ketika Kabinet 100 menteri bersidang, pasukan yang kami tempati mengelilingi Istana mengawasi mereka,” kata Kemal Idris, komandan yang menempatkan pasukan RPKAD tanpa identitas itu, dalam otobiografinya Bertarung Dalam Revolusi.

Untuk diketahui, Sarwo Edhie Wibowo adalah orang tua dari Kristiani Herrawati alias Ani Yudhoyono), istri Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jadi, Sarwo Edhie merupakan mertua dari SBY.

Desakan demo kala itu membuat Soekarno menghentikan rapat. Ia lalu pergi ke Istana Bogor menggunakan helikopter. Bung Karno ditemani Soebandrio dan Chairul Saleh. Tiga jenderal yang turut dalam rapat bersama Soekarno, yakni Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M. Jusuf lantas menemui Soeharto di rumahnya, Jalan Agus Salim.

Kala itu, Soeharto tak hadir rapat dengan Bung Karno. Allasannya sedang sakit. Setelah bertemu dengan Soeharto, ketiga jenderal tersebut diutus ke Istana Bogor untuk menemui Soekarno. Sekembalinya dari Istana Bogor, mereka membawa Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) untuk Soeharto.

Baca juga:  Telan Anggaran Rp 1,25 Triliun, Daerah Irigasi Gumbasa Diresmikan Presiden Jokowi

Satu hal yang juga diungkap sejarawan Asvi Warman adalah bagaimana Soeharto menggambarkan peristiwa peyerahan Supersemar itu. Pada 1970, peristiwa penyerahan Supersemar itu hendak dibuat dioramanya di dalam Monumen Nasional (Monas). Rekonstruksi ulang pun dilakukan di rumah Soeharto.

Rekonstruksi dilakukan oleh Soeharto dan dihadiri Amir Machmud, M. Yusuf, sejarawan Nugroho Notosusanto dan pematung Edhi Sunarso yang diminta menggarap diorama itu. Basuki Rahmat tak hadir karena sudah meninggal dunia. ’’Mereka itu sebenarnya ingin melakukan rekonstruksi di sana, tetapi yang terjadi itu adalah diskusi,” ungkap Asvi.

Alih-alih merekonstruksi peristiwa berdasarkan fakta kejadian sesungguhnya, mereka malah berdiskusi mengenai bagaimana sebaiknya peristiwa itu digambarkan. Jika Soeharto digambarkan berseragam lengkap dengan bintang empat, ia akan terlihat sebagai atasan ketiga jenderal tersebut. Akhirnya, ia digambarkan sedang terbaring sakit dan terlihat lemah.

Jadi, jelas Asvi, yang cukup penting dalam rekayasa peristiwa itu adalah bahwa Soeharto digambarkan sangat pasif dan tak terkesan menginginkan kekuasaan. ’’Dia diam, dia pasif, dan ketiga orang jenderal itu yang mengambil prakarsa untuk ke Istana Bogor. Jadi inilah penggambaran yang harus dibuat oleh Edhi Sunarso. Dan inilah yang dilakukan oleh Edhi Sunarso dengan membuat diorama ini di Monas,” terang Asvi.

Diorama yang rencanamya dipasang pada 11 Maret 1970 itu belakangan tertunda akibat banjir besar di Jakarta. Monas terendam. ’’Nah ketika itu ada rumor yang mengatakan mungkin Bung Karno ini marah begitu. Sehingga terjadi banjir yang menimpa Monas itu dan pemasangannya tertunda satu minggu,” kata Asvi.

Baca juga:  Supersemar; Cerita Mencekam, Mistis, dan Tafsir Soeharto (4)

Pada 1997, menjelang kejatuhan Soeharto, Edhi Sunarso diminta lagi untuk membuat diorama penyerahan Supersemar untuk Museum Pancasila Sakti. Namun, kali ini ia tidak didikte dan memiliki kebebasan dalam membuat diorama. Edhi tidak membuat adegan peristiwa penyerahan Supersemar kepada Soeharto, melainkan penyerahan Supersemar dari Sukarno kepada tiga jenderal.

“Soekarno yang menyerahkan Supersemar itu kepada tiga orang di sebelah kiri, yaitu Basuki Rahmat, Amir Machmud, dan Yusuf. Sedangkan di sebelah kanan, itu tiga orang Waperdam: Soebandrio, Chairul Saleh, dan Leimena,” sambung Asvi

Dalam diorama 1997 itu ada pula Hartini yang duduk di samping Soekarno  Meski belum diketahui kecocokan diorama ini dengan peristiwa tersebut, Edhi Sunarso, yang merupakan pematung kesayangan Soekarno, berusaha menampilkan ketokohan Soekarno dalam peristiwa tersebut.

Kasus dua diorama yang berbeda tersebut, jelas Asvi, menunjukkan bahwa sejarah peristiwa 11 Maret 1966 sengaja dibuat sedemikian rupa dengan tujuan tertentu. Diorama Monas dibuat dengan rekayasa Soeharto, sedangkan diorama Museum Pancasila Sakti dibuat Edhi Sunarso dengan lebih bebas tanpa pesanan. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.