KabarBaik.co- Mimpi Persebaya Surabaya untuk memutus tren inkonsistensi kembali pupus. Green Force hanya mampu bermain imbang 1-1 melawan Persik Kediri pada pekan ke-12 lalu di Stadion Gelora Joko Samudro, Jumat (7/11) malam. Hasil itu bukan hanya membuat Persebaya gagal membawa pulang tiga poin, tetapi juga mulai memicu kekecewaan para pendukung. Mereka mulai kehilangan kesabaran terhadap pelatih Eduardo Perez.
Teriakan “Edu Out!” menggema di tribun Stadion Gelora Joko Samudra. Suara ketidakpuasan itu seolah menjadi simbol frustrasi suporter atas performa Persebaya yang kembali gagal tampil meyakinkan, walaupun sempat unggul lebih dulu lewat gol Catur Pamungkas pada menit ke-53.
Di babak kedua, tim sebetulnya tampil dengan intensitas cukup tinggi. Penekanan langsung, beberapa peluang yang muncul, justru petaka yang datang. Kartu merah langsung bagi Francisco Rivera pada menit ke-76 membuat tim harus bertahan dengan sepuluh pemain. Kartu merah bagi Rivera tentu menjadi kerugian besar bagi Bruno Moreira dkk. Sebab, ia mesti absen di laga berikutnya di saat Persebaya butuh kemenangan.
Tambahan hanya satu poin membuat posisi Persebaya stagnan di papan tengah. Saat ini, Persebaya menempati posisi ke-9 di klasemen sementara dengan 15 poin dari 10 pertandingan. Perinciannya, 4 kemenangan, 3 hasil imbang, dan 3 kekalahan. Mereka mencetak 12 gol dengan kebobolan sebanyak 10 gol (selisih gol hanya +2).
Dari lima pertandingan terakhir hingga laga kontra Persik, catatan Persebaya adalah menang, seri, kalah, seri, kalah. Data ini menunjukkan tren yang fluktuatif dan belum stabil.
Sebetulnya, Edu bukan sosok asing di sepak bola Indonesia. Ia pernah menjadi asisten pelatih Persija Jakarta serta menjabat pelatih kepala PSS Sleman pada musim 2019/2020. Sebelumnya, ia juga dikenal sebagai tangan kanan Luis Milla di tim nasional Indonesia ketika itu. Kedekatannya dengan Milla membuatnya akrab dengan filosofi sepak bola modern berbasis penguasaan bola dan permainan cepat.
Tak hanya itu, Edu juga punya jejak kuat di Eropa. Ia memulai karier sebagai penjaga gawang CD Logrones pada 1995 dan sempat bermain di UD Melilla, Balaguer CF, hingga Badalona CF di kasta bawah Liga Spanyol. Saat masih di Badalona, Edu sudah mulai dipercaya melatih kiper muda, titik awal perjalanannya menuju dunia kepelatihan.
Selepas gantung sepatu, Edu serius menimba ilmu. Pada 2011 hingga 2013, ia dipercaya menjadi pelatih kiper sekaligus analis di Girona FC yang saat itu berlaga di La Liga. Pengalaman di level tertinggi sepak bola Spanyol ini membentuk cara pandangnya terhadap detail permainan dan filosofi taktik.
Namun, puncak penting dalam kariernya datang pada musim 2018/2019. Edu dipanggil oleh legenda Barcelona, Xavi Hernandez, untuk menjadi bagian dari staf pelatih Al Sadd di Qatar. Bersama Xavi, ia ikut mengantarkan Al Sadd menjuarai Liga Qatar, sekaligus menyerap filosofi tiki-taka khas sepak bola Spanyol modern.
Kolaborasi dengan Xavi dan kedekatannya dengan Milla menjadikan Edu, sempat disebut-sebut sebagai salah satu pelatih dengan fondasi taktik kuat di Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, Edu mengaku mengagumi permainan umpan pendek cepat, tetapi juga menegaskan punya gaya sendiri yang menyesuaikan karakter pemain.
Selepas petualangannya di Timur Tengah, Edu kembali ke Indonesia pada 2019 untuk menjadi asisten pelatih Persija Jakarta di bawah Julio Banuelos. Meski duet itu berumur pendek, Edu tetap mendapat kepercayaan dari klub lain. Awal 2020, ia resmi diperkenalkan sebagai pelatih kepala PSS Sleman menggantikan Seto Nurdiyantoro.
Sayangnya, perjalanannya di Sleman hanya bertahan sebentar. Hasil yang tak sesuai harapan membuatnya harus angkat kaki pada Februari 2020. Edu kemudian berkarier di Spanyol bersama klub CP Villarrobledo, semula sebagai pelatih kepala pada musim 2020/2021, lalu berlanjut menjadi pelatih akademi.
Namun, kiprahnya di Villarrobledo tidak terlalu gemilang. Dalam 26 laga sebagai pelatih kepala, ia hanya mencatat dua kemenangan, enam hasil imbang, dan 18 kekalahan.
Kini, Edu kembali menapaki tantangan besar di Persebaya Surabaya. Di bawah tekanan publik dan tuntutan tinggi suporter, ia dihadapkan pada tugas berat. Mengembalikan karakter Green Force yang agresif dan penuh semangat.
Jika performa Persebaya tidak lagi gacor, tekanan terhadap pelatih Eduardo Perez, besar kemungkinan makin besar. Dia dituntut segera menemukan racikan jitu jika tak ingin nasibnya benar-benar berakhir di bawah desakan “Edu Out” yang semakin lantang terdengar. (*)







