KabarBaik.co – Setelah menuai gelombang kritik publik akibat tayangan program Xpose Uncensored yang dinilai melecehkan ulama dan pesantren, pihak Trans7 akhirnya menyampaikan permohonan maaf resmi kepada Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Surat permintaan maaf dengan kop PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh tertanggal 13 Oktober 2025 itu ditujukan langsung kepada KH. HM. Adibussholeh selaku pengasuh PP Putri Hidayatul Mubtadiaat Lirboyo.
Dalam surat bernomor 399/DSMA-PR/25 tersebut, pihak Trans7 mengakui adanya keteledoran redaksional dalam tayangan yang merugikan keluarga besar pesantren.
“Kami dari TRANS7 dengan segala kerendahan hati menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada segenap Kyai, para pengasuh, santri, serta alumni Pondok Pesantren Lirboyo,” tulis Renny Andhita, Kepala Departemen Programming Trans7, dan Andi Chairit, Direktur Produksi, yang turut menandatangani surat tersebut.
Trans7 juga menegaskan komitmennya untuk tidak lagi menayangkan pemberitaan yang berkaitan dengan ulama, kiai, dan kehidupan pesantren dalam konteks program yang tidak relevan. Mereka berjanji akan menampilkan lebih banyak tayangan yang mengangkat nilai-nilai positif dan keteladanan pesantren di masa mendatang.
“Hal ini menjadi pembelajaran berharga bagi kami agar lebih berhati-hati dalam menayangkan konten yang bersinggungan dengan kehidupan pesantren,” bunyi salah satu poin dalam surat permohonan maaf itu.
Namun, polemik ini belum sepenuhnya reda. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur turut menyoroti serius kasus ini. Ketua KPID Jatim, Royin Fauziana, menyatakan pihaknya telah menerima sejumlah laporan dari masyarakat dan tokoh pesantren yang menilai tayangan tersebut mengandung unsur SARA dan berpotensi menyesatkan publik.
“Kami menilai ada indikasi pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), khususnya dalam hal penghormatan terhadap nilai-nilai agama dan keberagaman,” ujarnya, Selasa (14/10).
Royin menegaskan media penyiaran memiliki tanggung jawab besar menjaga kohesi sosial di tengah masyarakat yang majemuk, terlebih di Jawa Timur yang merupakan basis pesantren terbesar di Indonesia.
“Televisi harus memperkuat toleransi, bukan memperkeruhnya. Tayangan yang menstigma kelompok tertentu jelas bertentangan dengan semangat kebangsaan dan keberagaman,” tegasnya. (*)