WWF Bali 2024: Meneguhkan Negoro Bonorowo

Editor: Hardy
oleh -505 Dilihat

OLEH: SUPARTO WIJOYO*)

BANYAK mata dunia tengah tertuju ke Bali. Ada agenda internasional 10th World Water Forum (WWF) yang dihelat pada 18-25 Mei 2024. Temanya sangat mengena: Water for Shared Prosperity. Air untuk Kemakmuran Bersama. Sebab, memang semua manusia membutuhkan air. Bukan hanya bangsa dan negara, melainkan setiap personal bergantung kepada air dalam menjaga keberlanjutkan hidupnya. Ini momentum besar dan kesempatan terbaik Indonesia serta masyarakat dunia untuk peduli kepada  permasalahan air.

Kali ini, saya berkesempatan untuk memberikan perenungan betapa pentingnya membing masalah air ini. Apalagi dalam suasana perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak 2568 BE pada Kamis, 23 Mei 2024. Pada hari itu Umat Buddha merayakan Waisak untuk memperingati hari lahir Sidharta Gotama (calon Buddha Gautama), suatu ketika di mana Sidharta mendapatkan pencerahan ilmu, dan hari mangkatnya Buddha.

Di sisi lain, pekan ini secara akademik merupakan saat-saat yang monumental dalam perhelatan dunia kampus. Penyelenggaraan kuliah-kuliah internasional dengan mendatangkan dosen-dosen dari mancanegara adalah tuntutan zaman dalam rentang menggapai cita agar Universitas Airlangga dapat bertengger sebagai bagian penting World Class University (WCU). Tata pamong pendidikan tinggi terus dibenahi dan dievaluasi melalui tahapan yang kerap disebut akreditasi. Di tempo pekan kemarin itulah Program Studi Ilmu Forensik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga “memanen waktu” divisitasi dengan dukungan penuh seluruh civitas akademikanya. Kini, semua pihak menanti penuh harap atas hasil yang kelak akan diraih dalam doa sesuai semangat yang berkobar-kobar.

Kehadiran dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, alumni, dan user serta elemen-elemen jejaring Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga yang tampak tumplekblek dengan senyum mengembang memberikan energi pencapaian yang optimistik. Senyum itu semakin menebarkan aroma harum kehidupan tatkala tiba “libur panjang”, walauun tidak liburan karena acara Airlangga Forum serta kuliah-kuliah tetap terselenggara. Mereka serentak menambah bobot mutu SDM Indonesia dengan satu pesan utama unggul dan mulia hidupnya dengan basis moral yang tinggi. Integritas diri adalah sematan yang terus  direkat oleh setiap langkah Ksatria Airlangga.

Baca juga:  Kekeringan! Petani Tanahlandean Gresik Rela 'Melekan' Demi Dapat Bagian Air

Dalam keheningan yang terangkai di bentara akademik itu, saya mendadak sontak mengekspresikan tanda tanya atas pergumulan WWF di Bali, serta air hujan yang kini jarang turun di Jawa. Waktu musim penghujan tiba yang terjadi adalah hadirnya rob besar-besaran di Jawa Tengah. Ya, rob yang umum terjadi di kala hujan maupun pasang air laut, walau itu adalah penanda hadirnya “ketinggian iman” dalam lantun doa “Robbana Atina ….” yang kerap dikumandangkan dalam setiap “senggang jiwa”.

Soal air yang dibahas di Bali, sebenarnya mengingatkan saya kepada suatu kenyataan rutin yang tumpah di sawah ladang serta tambak-tambak di kampung halaman. Pematang sawah, galengan tambak, batas-batas kebun terjamah air hujan yang menghasilkan “gerojogan gelombang” dari areal Lamongan wilayah selatan dan gemuruh “festival air” dari arah Lamongan utara, memanunggalkan diri dalam “senggama air hujan” di wilayah desa, di mana saya dilahirkan.

Itulah areal yang lazim dinamakan Bonorowo. Itulah tlatah wilayah tempat tinggal orang tua, sanak saudara, dan handai taulan di Lamongan. Bonorowo merupakan atribut filologis yang “memenuhi kosa kata” dari setiap bibir leluhur pedalaman yang kerap “berselimut dinginnya hujan, membanjirnya perairan”. Lamongan sisi rel kereta api ke utara sampai pada tanggul Bengawan Solo ke selatan adalah jelajah geografis nomenklatur bonorowo yang memberikan indikator-indikator lahan basah, tanah berawa-rawa. Pada lingkup ini ingatan saya langsung tertuju kepada Konvensi Ramsar, sebuah kesepakatan internasional mengenai perlindungan lahan basah yang kini mengimpun komitmen 163 negara yang berjanji melindungi 2.062 situs Ramsar dengan luas 197.258.541 hektare di seluruh dunia.

Melalui Konvensi Ramsar berarti setiap lahan basah akan terlindungi sebagai kawasan berair, rawa, gambut, dengan air yang mengalir atau diam, tawar, payau, atau asin. Bonorowo itu dikonsepkan sebagai kawasan penting sebagai penyangga kehidupan dengan padi yang subur (kang sarwo tinandur). Tentu saja bonorowo dalam kancah arena “bermusyawarahnya air hujan” di Lamongan itu dapat dijadikan muasim dan tempat yang terlindungi seperti termuat di Strategic Framework and Guidelines For The Future Development Of The List Of Wetlands Of International Importance dari   the Ramsar Handbooks for the Wise Use of Wetlands. Dalam Konvensi Ramsar terdapat sembilan  kriteria yang mencakup  keunikan lahannya, komunitas spesies dan ekologinya, serta burung air, ikan dan flora lainnya.

Baca juga:  Kekeringan! Petani Tanahlandean Gresik Rela 'Melekan' Demi Dapat Bagian Air

Saya memang tidak hendak mencermati bonorowo dalam kerangka hukum lingkungan internasional model Ramsar Convention melainkan sekadar mengapresiasi tentang bonorowo pada tataran kosmologi kepemimpinan yang tahun ini tidak terjadi banjir bandang. Ada kebijakan untuk membebaskan banjir di teritorial bonorowo. Penyebutan bonorowo selaksa doa keabadian bahwa daerah ini musti mengalami “panen air” yang mentradisi, mengingat bonorowo adalah “cekungan tempat seluruh air hujan di wilayah Lamongan mengikuti musyawarah akbar”, alis kumpul bareng. Air hujan itu memberikan sapa sekaligus peringatan atas hadirnya karunia Tuhan asal manusia bisa mengelola dengan menjemputnya melalui ilmu planologi-hidrologi.

Sejak seabad lalu, 1918 pada saat berdirinya Volksraad, alias parlemen pertama di bumi Nusantara, bonorowo mengalami pembangunan dam-dam serta kanal-kanal yang jejak sejarahnya dapat disaksikan sampai sekarang. Bahkan Belanda pada era 1930-1945 terlibat “perang peradaban” melawan pejuang kaum tani di bonorowo. Pembakaran kampung dan masjid di daerah bonorowo oleh tentara kolonialis terus didongengkan sebagai endapan memori kesejarahan yang terus membersitkan kebanggaan. Heroisme wong bonorowo.

Rezim kemerdekaan hadir dan kepala daerah terus silih berganti. Dan kepemimpinan saat ini memberikan makna baru bahwa bonorowo sebagai tata negara yang ramah air. Menyaksikan ketangguhan orang-orang desa saya maupun kabar yang ditautkan melalui media serta silaturahmi dulur-dulur sepengalaman di kala kecil, pada ujungnya menyuarakan tanda: “syukurlah kini pemerintah dapat menata kelola air alias lumayan gak banjir lagi”?  Begitu “dibisikkan para kolega”. Lamongan dengan bonorowonya dapat menjadi agensi penting tata kelola air dan bisa ditampilkan dalam segmen dunia dengan warganya yang tangguh. Kita semua dapat menarasikan realitas peristiwa lingkungan yang menggelegak ke permukaan publik yang menemukan catatan 35,61-40 persen air tercemar, 18,05 persen hutan rusak berat, 14,63 persen udara kotor menyesakkan, dan 5,37 persen laut menghitam beserta biotanya yang terkoyak keberlanjutan hidupnya.

Baca juga:  Kekeringan! Petani Tanahlandean Gresik Rela 'Melekan' Demi Dapat Bagian Air

Pada lingkup inilah pemimpin daerah wajib mengonstruksi kawasan dalam berbagai tipe sesuai topografi wilayahnya. Membangun yang berpatokan tata ruang, bukan tata uang. Longsor dan banjir di berbagai wilayah adalah contoh pembangunan yang tidak berjalan seiring dengan penataan ruang. Pembangunan  mutlak berpedoman pada tata ruang yang berlandaskan ekosistem dan kondisi geografis  yang harus ditaati oleh para pemenang konstentasi pilkada ke depan. Pilkada khusus yang akan digelar 27 November 2024.

Penataan kawasan di manapun membutuhkan keteguhan kepala daerahnya sesuai hukum tata ruang suatu negara (recht betreffende de verdeling van het ruimtegebruik). Menata kawasan harus didasarkan pada kondisi geografis dan nilai sosiologisnya  sebagaimana digambarkan John Eade (1997) untuk memproyeksikan sebuah kota yang masuk jaringan living the global city model   Peter Hall (1998). Inilah manifes membangun kota pada konteks cities of tomorrow sedasar ide Joan Ricart (2013): World’s Greatest Cities.

Dari agenda Bali yang ditempati acara WWF, kita dapat meneguhkan bahwa NKRI ini negara perairan dan itu anugerah. Anugerah yang perlu dirawat dan ditata kelola ramah lingkungan. Siapakah kandidat pemenang Pilgub atau kepala daerah yang akan terpilih Jatim pada 27 November 2024, tentu perlu tanggap soal isu air ini. (*)

—-

*) SUPARTO WIJOYO,  Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, dan Pengajar Strategic Leadership Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.