Bertani- Di ladang kehidupan, Jelsi Natosa (25) menanam benih mimpi jauh sebelum ia menjejakkan kaki di kebun bawang merahnya. Berasal dari Nganjuk, Jawa Timur, perjalanan Jelsi bagaikan biji yang dihembuskan angin menuju Surabaya, lalu tumbuh menjadi tunas baru di dunia perkantoran. Namun, di sanubarinya, terpatri keyakinan bahwa akar yang kuat hanya bisa mencengkeram tanah kelahiran.
Sejak lulus SMK Multimedia pada 2017, Jelsi menyadari bahwa dunia korporasi ibarat pohon yang kian hari kian besar—ramai, tapi merenggut kesempatan untuk berakar lebih dalam.
“Aku perempuan, kalau umur 30 tahun ke atas mungkin sudah tidak dipakai oleh perusahaan. Kalau di pertanian, bisa sampai tua. Terus kalau nggak diteruskan sama generasi muda, bisa-bisa petani di Indonesia musnah,” ujarnya, seakan menanam semangat abadi di ladang pikiran kita.
Kembali ke kampung, ia belajar dari para orang tua petani, seperti benih yang menyerap air dan cahaya dari pengalaman sekitar. Lahan seluas 2.000 meter persegi menjadi pangkuan pertamanya—modal miliaran rupiah yang dikumpulkan selama lima musim hidup, hingga bibit bawang merah dan tanahnya bersatu dalam simfoni kesuburan.
Tetapi, musim tak selamanya bersahabat. Hama dan cuaca bagai badai tak terduga yang pernah merobohkan harapan panennya. Di kala harga bawang merah jatuh, Jelsi tak gentar. Ia memetik hikmah: jika batangnya kuat, entah diterjang badai apa pun, akar akan terus melekat. Ia beralih ke TikTok Shop, menyalurkan hasil panen secara ecer, menaikkan harga jual hingga Rp 33.000 per kg—dua kali lipat di atas harga pengepul.
Kini, limaan kali panen dalam setahun bagai tikaman jarum jam yang berdetak cepat, menyumbang omzet puluhan hingga ratusan juta rupiah. “Panen satu kali di 150 RU dalam dua bulan itu bisa tembus Rp 45 juta, itu kalau jadi dan harganya bagus,” tuturnya, menggambarkan riang matanya saat melihat tumpukan bawang merah—buah kerja keras yang kelak menjadi pelita ekonomi.
Lewat kisahnya, Jelsi menabur benih inspirasi: kaum muda tak perlu malu menekuni pertanian. Jika dikelola dengan cerdas, lahan seberat apapun bisa berbuah tawa dan kesejahteraan. “Sebenarnya kita juga bisa tetap keren menjadi petani. Bisa berpenghasilan tiga digit dalam satu bulan, bisa ratusan juta dalam satu tahun, tergantung kamu mengelola keuangannya itu gimana.”
Bagi yang modalnya masih serupa biji—sedikit dan rawan gagal—ia menawarkan strategi: “Mungkin bisa belinya yang tahunan dulu. Sebisa mungkin kalau modal tanam bisa 3–4 kali untuk meminimalisir kegagalannya.” Seperti benih yang bertumbuh perlahan, langkah kecil dan berulang akan mengokohkan batang harap menuju pucuk kesuksesan.
Demikianlah, dalam tiap hela nafasku—sebagaimana Jelsi menghela nafasku—tersimpan pesan bahwa hidup adalah ladang. Dengan tekad, kerja keras, dan keberanian menanam di tanah sendiri, kita bisa menuai takdir yang kita lukis sendiri. (*)