HeadlinePertanian OrganikPetani Muda

Bongkar Batu, Bangun Harapan: Gestianus Sino, Petani Milenial NTT yang Sukses Taklukan Lahan Kritis

626
×

Bongkar Batu, Bangun Harapan: Gestianus Sino, Petani Milenial NTT yang Sukses Taklukan Lahan Kritis

Sebarkan artikel ini
Gestianus Sino (Foto Dok Pribadi)

Bertani- Ketika kebanyakan anak muda mengejar kursi PNS atau karier kantoran, Gestianus Sino justru memilih jalan terjal. Menjadi petani. Bukan di lahan subur, melainkan di tanah berbatu karang yang selama ini dianggap mustahil untuk ditanami. Namun dari tanah keras itulah, Gesti—sapaan akrabnya—menumbuhkan harapan, pangan, dan masa depan yang kini dinikmati ribuan orang.

Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana ini memulai usahanya pada 2011, dengan menggadaikan ijazah kuliahnya demi modal awal Rp30 juta. Dengan alat sederhana seperti palu dan linggis, ia membongkar satu per satu batu karang di lahan seluas 1.000 meter persegi miliknya. Dua tahun ia bekerja sendirian, menggali hanya sedalam 40 cm karena semakin ke bawah, semakin padat batu.

Event Organizer Kabarbaik

“Batu-batu besar saya pakai untuk pagar,” kenangnya sambil tertawa dilansir dari laman Kehati.

Kebun GS Organik miliknya telah berkembang menjadi 43.000 meter persegi dan menjadi pelopor pertanian organik terintegrasi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menanam 20 jenis tanaman hortikultura serta beternak ayam, itik, kambing, hingga sapi. Semua terintegrasi dalam sistem pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan dan berbasis ekonomi sirkular.

“Dulu tanah ini tidak bisa menghidupi siapa-siapa. Sekarang, tanah ini bisa jadi sumber kehidupan,” ujar Gesti bangga.

Dari Bayam ke Brokoli Premium

Awalnya, Gesti hanya menanam pepaya California, bayam, dan kangkung untuk kebutuhan keluarga. Tapi karena hasilnya melimpah, ia mulai menawarkan produknya ke hotel-hotel di Kupang. Responnya di luar dugaan.

“Waktu saya antar bayam dan kangkung ke hotel, orang-orang tanya, ‘Ada brokoli? Pakchoy? Kailan?’ Waktu itu saya tidak tahu itu apa,” kata Gesti. Tak tinggal diam, ia mempelajari dan menanam semuanya. Kini, permintaan pasar menengah atas telah mendorongnya menyediakan 20 jenis sayur organik premium yang menjadi langganan hotel, restoran, dan supermarket di Kupang.

Kehadiran GS Organik bahkan membantu sektor pariwisata. Dulu, hotel-hotel di Kupang harus mengimpor sayuran dari Surabaya yang baru tiba keesokan harinya dalam kondisi layu. Kini, mereka cukup belanja dari GS Organik—segar, lokal, dan lebih ramah lingkungan.

Irigasi Tetes dan Revolusi Hijau dari Timur

Gesti juga menerapkan irigasi tetes, sistem hemat air yang sangat cocok untuk iklim kering NTT. Ia membuat sumur bor sendiri dan sejak 2015 tidak pernah kehabisan air. Kotoran ternak dan limbah dapur ia olah menjadi kompos. Tidak ada limbah yang terbuang sia-sia.

“Pertanian kami bukan hanya soal hasil panen, tapi soal merawat tanah dan merawat masa depan,” ucapnya.

Kini, GS Organik bukan sekadar kebun. Ia telah menjelma menjadi Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) yang melatih 200 orang setiap tahun—mahasiswa, petani muda, dan siapa saja yang ingin belajar bertani dari nol.

Dengan tiga prinsip utama—ekonomi, sosial, dan lingkungan—Gesti membangun pertanian yang berkelanjutan. Ia membuktikan bahwa bertani bisa sejahtera, bermartabat, dan bergengsi.

“Dulu orang bilang, jadi petani itu miskin dan bodoh. Tapi kami buktikan sebaliknya. Petani itu penentu masa depan karena semua orang butuh makan,” tegasnya.

Penghargaan dan Harapan

Tahun 2024, Gesti meraih KEHATI Award untuk kategori Agriculture. Dewan juri menilai kegigihannya luar biasa—mengolah “batu yang bertanah”, memecahkan mitos pertanian di tanah tandus, dan memperjuangkan ketahanan pangan lokal.

Menurut Gesti, NTT masih punya 1,3 juta hektar lahan tidur. Jika hanya 1.000 hektar saja yang digarap, bisa menyerap ribuan tenaga kerja dan menciptakan kesejahteraan.

“Bayangkan kalau 1,3 juta hektar itu kita manfaatkan semua untuk pertanian. Berapa banyak orang yang bisa hidup layak?” tutupnya penuh harap. (*)