KabarBaik.co – Di balik kilau emas dan tembaga penyumbang miliaran dolar bagi perekonomian nasional, PT Freeport Indonesia (PTFI) menyimpan sejumlah cerita kelam yang belum juga kunjung usai. Dalam setahun terakhir, setidaknya dua insiden besar terjadi, yakni kebakaran smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik pada Oktober 2024 dan longsor mematikan di tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC), Papua Tengah, 8 September 2025.
Apakah ini sekadar kecelakaan alam, atau ada kelalaian sistemik dalam protokol keselamatan? Demikian pertanyaan sejumlah kalangan.
Kebakaran Smelter Gresik: Awal dari Rantai Bencana
Insiden pertama meletus pada 14 Oktober 2024, ketika api membakar pabrik asam sulfat di smelter tembaga PTFI di Gresik. Fasilitas bernilai Rp 58 triliun kala itu baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo pada Mei 2024, tiba-tiba lumpuh. Kebakaran terjadi di unit gas cleaning plant, bagian krusial untuk memisahkan gas bersih dari proses pengolahan konsentrat tembaga. Meski api berhasil dipadamkan dalam hitungan jam, dampaknya luas. Operasional smelter terhenti total. PTFI pun meminta relaksasi ekspor konsentrat tembaga hingga September 2025.
Investigasi awal mengindikasikan potensi kegagalan teknis, seperti overheat atau kesalahan operasional. Insiden itu dianggap kahar. Memang, tidak ada korban jiwa. Namun, peristiwa itu tak menghentikan sorotan. Perbaikan memakan waktu berbulan-bulan, dengan biaya miliaran rupiah, dan mengganggu target program prioritas hilirisasi nasional. Relaksasi perpanjangan ekspor konsentrat tembaga untuk PTFI pun diberikan kali kesekian.
Awalnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia gerah. Namun, ujung-ujungnya mengalah juga. Kala itu, dia menekankan komitmen PTFI untuk dapat pulih cepat. “PT Freeport Indonesia berkomitmen merampungkan perbaikan smelter tembaganya pada Juni 2025,” ujar Bahlil pada Februari 2025.
Ketua Umum Golkar itu bahkan memperingatkan sanksi jika target molor. Smelter akhirnya disebut beroperasi bertahap pada Juni 2025 lalu. Namun, belum 100 persen. Kabarnya, operasi penuh itu dijadwalkan baru Desember mendatang. Benarkah? Kita nantikan saja.
Longsor Grasberg: Tragedi yang Masih Berlangsung
Belum setahun pasca-kebakaran itu, malapetaka baru terjadi. Pada 8 September 2025, pukul 22.00 WIT, longsor lumpur bijih basah (wet muck) di area Extraction 28–30 Panel tambang GBC menimbun akses terowongan, menjebak tujuh pekerja kontraktor. Mereka adalah Irwan, Wigih Hartono, Victor Manuel Bastida Ballesteros, Holong Gembira Silaban, Dadang Hermanto, Zaverius Magai, dan Balisang Telile.
Hingga hari ke-11, evakuasi belum membuahkan hasil, dengan tim gabungan PTFI, ESDM, dan MIND ID berjuang melawan volume material masif, terowongan berliku, dan cuaca buruk di Mimika.
Dari catatan, longsor kali ini bukan yang pertama di Grasberg, sebuah tambang bawah tanah terbesar dunia, yang sering diganggu gejala geologis seperti itu. Kedalaman ekstrem, konon hingga mencapai 1.000 meter. Namun, belakangan muncul pertanyaan: mengapa pekerja kontraktor ditempatkan di zona aktif tanpa mitigasi lebih ketat? Selama ini, PTFI mengklaim prioritas keselamatan. Tapi, belum ada pernyataan langsung dari Presiden Direktur PTFI Tony Wenas terkait insiden tersebut.
Yang jelas, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang mengaku sudah langsung melaporkan ke Presiden Prabowo Subianto, berulang kali menekankan penghentian operasional.
“Semua kekuatan kita fokuskan untuk menangani persoalan longsor. Kepala inspektur tambang juga ada di sana. Direktur juga ada di sana,” katanya kepada awak media, Jumat (15/9). “Semua aktivitas Freeport produksi dihentikan. Semua fokus untuk mencari korban. Penggalian lumpur jadi tantangan pencarian korban longsor PTFI,” lanjutnya seperti dilaporkan Antara. Evakuasi juga disebut terhambat cuaca.
Kedua insiden PTFI tersebut mengganggu rantai pasok. Kebakaran Gresik menurunkan produksi smelter hingga 100 persen, sementara longsor Grasberg memotong pasokan konsentrat hingga 70 persen, mengancam ekspor nasional yang diperkirakan mencapai Rp 248– Rp 279 triliun per tahun. Grasberg, penyumbang 2–3 persen pasokan tembaga global, kini disebut memicu lonjakan harga di London Metal Exchange.
Sejumlah analisis minerba menilai kondisi ini menjadi sinyal lemahnya audit keselamatan. Diketahui, PTFI adalah perusahaan dengan saham 51 persen milik Indonesia. Dengan kondisi ini, tekanan ekonomi makin besar. Investigasi menyeluruh dan audit transparan sepertinya mendesak untuk dilakukan, sebelum tragedi berikutnya datang.
Dan, doa untuk ketujuh pekerja masih bergema. Tapi jawaban atas “mengapa” juga harus segera ditemukan. (*)






