Dari Muassasah ke Multi Syarikah: Tantangan Baru, Persoalan Lama

oleh -490 Dilihat
Foto ilustrasi Kakbah. (Kemenag)

MASA krusial pelaksanaan ibadah haji 2025/1446 H relatif sudah selesai. Prosesi kritis puncak Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) telah terlewati. Namun, ada beberapa catatan tebal terhadap penyelenggaraan rukun Islam kelima ini. Harapannya, persoalan atau kekacuan yang sempat terjadi ke depan tidak lagi terulang.

Diketahui, pada pelaksanaan musim haji tahun ini menandai perubahan besar dalam sistem layanan jemaah asal Indonesia. Untuk kali pertama, pemerintah Indonesia tidak lagi menggunakan model tunggal berbasis muassasah. Namun, memberlakukan sistem multi-syarikah.

Melalui skema baru ini, sejumlah perusahaan atau syarikah ditunjuk untuk menangani berbagai aspek penting haji. Penginapan, tenda, transportasi, hingga konsumsi. Diharapkan, model baru ini mampu menciptakan persaingan sehat, memperbaiki kualitas layanan, dan mendorong profesionalisme.

Namun, yang terjadi di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Sistem yang semula tampak menjanjikan di atas kertas ternyata belum siap secara teknis dan koordinatif. Jemaah menjadi korban dari kurangnya integrasi antarpihak dan lemahnya kontrol di lapangan.

Sejak awal kedatangan jemaah, berbagai persoalan mulai muncul. Banyak jemaah yang terpisah dari pasangan atau kelompoknya. Sebab, penempatan oleh syarikah yang tidak mempertimbangkan keberadaan rombongan. Lansia dan penyandang disabilitas pun mengalami kesulitan karena tidak bersama pendampingnya. Beberapa kamar bahkan ditempati oleh jemaah dari kelompok berbeda, menimbulkan kebingungan dan ketidaknyamanan.

Masalah transportasi juga menjadi sorotan serius. Bus yang seharusnya membawa jemaah menuju Arafah tidak sedikit yang terlambat datang. Beberapa kelompok jemaah harus menunggu berjam-jam. Kondisi di Arafah juga menyisakan beberapa cerita-ceeita memilukan. Tenda-tenda banyak yang penuh sesak. Sebagian bahkan dipaksa menampung lebih banyak orang dari kapasitas seharusnya. Udara panas yang ekstrem dan kondisi sanitasi yang relatif minim membuat situasi semakin berat bagi para jemaah.

Yang juga memprihatinkan adalah kekacauan transportasi dari Muzdalifah ke Mina. Bus-bus molor. Kepadatan luar biasa. Stuck  Karena itu, banyak jemaah yang akhirnya memilih jalan kaki menuju Mina. Padahal, jaraknya lumayan jauh. Sekitar 5-7 kilometer. Setelah itu, mereka harus melanjutkan jalan kaki kagi untuk lontar jumrah. Maka, jemaah pun bisa berjalan kaki sampai 20 kilometer di tengah kondisi lelah, kurang tidur dan cuaca ekstrem. Terlebih bagi para lansia.

Belum lagi persoalan distribusi kartu Nusuk yang juga sempat tertunda. Padahal, kartu ini menjadi syarat penting untuk menjalankan ibadah di beberapa titik suci. Akibatnya, sebagian jemaah mengalami kesulitan mengakses layanan dan tempat ibadah yang seharusnya bisa mereka masuki sejak awal. Kekacauan juga terjadi di sektor layanan kesehatan. Klinik-klinik Indonesia yang disiapkan sempat mengalami kendala izin untuk buka layanan permanen di maktab. Alhasil, ssebagian jemaah yang sakit harus dirujuk ke rumah sakit di bawah otoritas Arab Saudi, yang sistemnya belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem layanan jemaah Indonesia.

Menyikapi situasi tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) RI memang tidak tinggal diam. Mereka sudah berupaya mencari solusi atas berbagai persoalan dan kekacauan yang terjadi. Sejumlah langkah telah dilakukan. Namun, ibarat nasi telah menjadi bubur. Tidak sedikit masalah sudah telanjur terjadi dan sebagian jemaah telah menjadi korbannya. Padahal, beberapa di antara masalah itu bisa diantipasi atau diprediksi. Paling tidak berdasarkan pengalaman di tahun-tahun sebelumnya.

Sementara itu, DPR melalui Komisi VIII dan Tim Pengawas Haji pun mendorong evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan haji musim ini. Beberapa anggota dewan mengusulkan agar syarikah-syarikah yang dinilai gagal memberikan layanan prima diberi peringatan tegas. Bahkan mungkin tidak lagi dilibatkan di musim haji berikutnya, jika mereka tidak menunjukkan perbaikan.

Ketua DPR RI Puan Maharani turut mengingatkan pentingnya koordinasi yang lebih kuat antara semua pihak yang terlibat. Mulai dari pemerintah, syarikah, hingga pendamping jemaah. Ia juga menyoroti persoalan mitigasi terhadap suhu ekstrem, layanan kesehatan, dan keakuratan data jemaah yang perlu segera dibenahi.

Sejumlah solusi mesti mulai disusun sejak sekarang. Di antaranya, memperbaiki alur komunikasi dan data antarpetugas, menambah armada transportasi di fase-fase krusial, serta mendorong pendirian layanan medis permanen milik Indonesia di wilayah haji.

Diakui, perubahan sistem penyelenggaraan haji kali ini sesungguhnya lahir dari semangat transformasi. Namun seperti halnya setiap perubahan besar, adaptasi membutuhkan kesiapan, perencanaan matang, dan terutama komitmen semua pihak untuk menjadikan jemaah sebagai prioritas utama.

Jika ke depan pengelolaan haji benar-benar akan beralih dari Kemenag ke Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH) yang baru, maka persoalan tahun ini harus dijadikan pelajaran penting. Jangan sampai semangat perbaikan justru menimbulkan kekacauan atsu penderitaan baru bagi para tamu Allah yang datang ke Tanah Suci dengan harapan dan doa yang tulus. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini



No More Posts Available.

No more pages to load.