Di samudra pers yang beriak, selalu ada kapal yang menderu menantang badai, ada pula gelombang yang membelah lautan dengan garang. Namun, sosok Akhmad Munir bukan keduanya. Ia seperti mercusuar di ujung tanjung yang teduh. Tidak berisik, tapi selalu menyala. Cahaya yang memandu, menenangkan, dan memberi arah. Menjelang Kongres Persatuan PWI Pusat, namanya berderap bukan sekadar sebagai salah satu kandidat ketua umum, tetapi juga jalan tengah. Tali jembatan yang bisa merangkul segala tepian, yang sempat berjauhan.
Di sebuah sudut tanah Madura yang berangin garam, Akhmad Munir terlahir. Seperti sebutir benih yang jatuh di tanah kering, ia tumbuh bukan karena tanahnya yang subur. Namun, karena ia belajar merunduk pada angin, menahan haus, dan mencari mata air kehidupan dengan tangannya sendiri.
Munir adalah putra keluarga sederhana. Ibunya seorang penjahit. Sejak dini, ia memahami bahwa hidup tidak selalu menawarkan jalan yang mulus. Terkadang, hanya memberikan sebidang jalan tanah yang harus disiram oleh keringat sendiri.
Munir kehilangan sang ayah saat baru menapaki bangku SMA pada 1982. Sejak saat itu, rumahnya bukan lagi rumah biasa, melainkan sekolah kehidupan. Ibunya yang hanya bisa menambal dan menjahit pakaian, menambal pula harapan agar anaknya bisa terus melangkah. Berkuliah. Namun, di semester VI di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember, kenyataan mengetuk pintu.
“Nak, Ibu sudah tak sanggup membiayai kuliahmu lagi. Kalau kau ingin terus melangkah, carilah sayapmu sendiri.”
Seperti seekor burung yang tiba-tiba harus terbang tanpa induk, Munir menemukan langitnya di dunia tulis-menulis. Pena menjadi jaring pengamannya. Kertas menjadi ladang panen pertamanya. Ia menulis nyaris setiap hari di berbagai surat kabar di Jawa Timur, mengisi rubrik “Opini Mahasiswa” dengan suara hati yang jernih, mengangkat isu sosial, politik, hukum, hingga seni dan budaya.
Dari setiap kata yang tercetak, ia mengubahnya menjadi lembar rupiah. Antara Rp 15.000 hingga Rp 25.000. Tapi, cukup untuk menyalakan kembali lampu harapan pendidikan tingginya. Di saat banyak orang mengejar pengakuan, Munir muda menulis bukan untuk nama. Namun, untuk hidup. Goresan-goresan tinta yang menetes di atas kertas, bukan hanya membekas di halaman, melainkan juga di jalan hidupnya.
Dari situlah, dunia jurnalistik memanggilnya. Dia magang di Radio Suara Akbar Jember. Belajar menyalakan suara di udara, sebelum akhirnya takdir menulis bab baru dalam hidupnya. Munir diterima sebagai jurnalis muda di LKBN Antara Biro Jawa Timur pada 1992.
Munir menapaki dunia jurnalistik seperti mendaki gunung dengan kaki telanjang. Dari cuma sebagai pembantu koresponden di Pamekasan, Madura, yang dibayar berdasarkan jumlah berita tayang. Dua tahun kemudian, kontraknya naik. Menjadi koresponden dengan gaji Rp 150.000 dan target 45 berita per bulan.
Tidak pernah mengeluh. Kesabaran dan ketelatenannya adalah bekal yang membuat langkahnya terus mantap. Pada 1998 pun resmi menjadi wartawan tetap, menandai fase baru perjalanan panjangnya.
Kariernya bak kisah pohon yang tumbuh dari biji yang nyaris terinjak, tetapi menolak menyerah pada tanah keras. Dari wartawan lapangan di Jawa Timur, Munir perlahan menanjak menjadi redaktur, lalu Kepala Biro Bengkulu pada 2008-2009, sebelum kembali lagi ke tanah kelahirannya sebagai Asisten Manajer Pemberitaan hingga akhirnya memimpin Biro Jawa Timur sejak 2010 sampai awal 2018.
Selama itu pula, Munir mengukir jejak di dunia organisasi. Dua periode sebagai Ketua PWI Jawa Timur, Ketua SIWO PWI Jatim, pengurus KONI, hingga Sekretaris Umum Persebaya dan PSSI Jatim.
Bagi Munir, dunia ini bukan sekadar panggung karier. Tetapi, juga ladang pengabdian. Prinsip hidupnya sederhana, tapi kokoh seperti batu karang: bekerja dengan baik tanpa mengejar pengakuan, membuat orang di sekitarnya tersenyum, dan selalu berbakti pada orang tua. Pria kelahiran Sumenep itu percaya doa seorang ibu mampu membuka jalan yang bahkan tampak tertutup rapat.
“Semua ini adalah anugerah dan ridho Allah, serta doa orang tua dan dukungan keluarga. Barangkali memang sudah garis tangan,” ucapnya penuh syukur dalam sebuah kesempatan.
Tahun 2018 menjadi momen di mana pohon yang dirawat sejak muda mulai berbuah lebat. Munir hijrah ke Jakarta sebagai Pemimpin Pelaksana Harian Redaksi, lalu diangkat Menteri BUMN Rini Soemarno sebagai Direktur Pemberitaan Perum LKBN Antara. Lima tahun berikutnya, saat matahari kariernya berada di zenit, ia ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas Direktur Utama, sebelum akhirnya resmi menduduki kursi tertinggi pada 28 Juli 2023, melalui Surat Keputusan Menteri BUMN Erick Thohir.
Dari wartawan pemula yang menulis demi biaya kuliah, Munir kini menjadi nakhoda kapal besar kantor berita nasional. Hidup Munir adalah bukti bahwa kesabaran dan keikhlasan bukan sekadar kata-kata manis, melainkan kunci yang membuka pintu yang tampak terkunci rapat. Menolak menyerah pada nasib dan memilih mengukir jalannya sendiri dengan pena, kerja keras, dan doa yang tidak pernah putus. Dalam dirinya, dunia jurnalistik menemukan cermin sederhana. Bahwa, berita bukan sekadar informasi, tapi jejak perjuangan untuk meninggalkan legacy.
Di balik meja kerjanya sebagai Direktur Utama LKBN Antara, Munir tak lupa dengan akar kehidupannya. Dia tetap memegang moto hidupnya: “Bekerja sabar, ikhlas, dan istiqamah.”
Kisah Cak Munir, panggilan akrabnya, seperti kisah tentang air yang menetes di batu. Tidak ada dentuman keras, tapi ketekunan dan kesabaran akhirnya mengubah kerasnya batu menjadi aliran jalan baru. Dari Madura yang sederhana, ia membuktikan mereka yang berjalan dengan sabar dan ikhlas akan sampai, bukan hanya pada tujuan, tapi juga pada keindahan hidup yang tak terduga.
Dan, menjelang Kongres PWI 2025, Cak Munir adalah sosok kesejukan di tengah riuh gelombang organisasi profesi wartawan tertua itu. Dia bukan gelombang yang gaduh, bukan kapal yang ingin paling depan, tapi mercusuar yang membuat semua kapal merasa aman. Jalan tengah yang tidak menghapus perbedaan, tapi merangkulnya menjadi satu harmoni. (*)