KabarBaik.co– Melalui Konferwil XVIII di Ponpes Tebuireng, Jombang, pada 2-4 Agustus 2024, KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) terpilih aklamasi sebagai ketua PWNU Jatim periode 2024-2029. Ia menggantikan KH Marzuki Mustamar, yang menjabat periode sebelumnya.
Dalam sejarah kepengurusan NU Jatim, Gus Kikin yang merupakan cicit Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari itu tercatat sebagai ketua PWNU Jatim ke-11. Lantas, siapakah ketua PWNU Jatim kali pertama? Ia adalah KH Mahfudz Sjamsulhadi, yang menjabat 1957 hingga 1963 atas pada masa Orde Lama.
Dari berbagai sumber yang dihimpun KabarBaik.co, KH Mahfudz Sjamsulhadi, ternyata bukan dari keluarga ’’darah biru’’ atau kiai/ulama besar pada zamannya. Namun, kiprah tokoh asal Banyuwangi itu terbilang luar biasa. Salah seorang pejuang bangsa.
KH Mahfudz Sjamsulhadi memulai karir dari kampung kecil di Banyuwangi. Masa awal-awal kemerdekaan, ia menjadi pegawai penerangan di Kecamatan Srono. Jaraknya dengan Banyuwangi Kota sekitar 23 km. Selain menjadi pegawai penerangan, ia menjadi ketua PAC Partai Masyumi, Srono. Kelak, ia menjadi pegawai penerangan di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Banyuwangi. Saat bersamaan, ia juga menjadi ketua GP Ansor Banyuwangi.
Pada 1955, NU memutuskan keluar dari Masyumi. NU menjadi partai sendiri. Perubahan politik itu memberikan jalan baru bagi KH Mahfudz Sjamsulhadi. Ia memimpin Partai NU dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Banyuwangi. Bahkan, karir politiknya terus menaik dengan menjadi ketua Partai NU Jatim.
Menjadi peserta kali pertama di Pemilu 1955, Partai NU di Jatim langsung menjadi pemenang. Meraih lebih dari 3 juta suara. Mendapatkan sebanyak 21 kursi dari 70 kursi di DPRD Provinsi Jatim. KH Mahfudz Sjamsulhadi menjabat wakil ketua DPRD Provinsi Jatim. Di pertengahan jalan, ia dipercaya menjadi ketua.
Suasana politik di Jakarta pada masa Presiden Soekarno kala itu begitu dinamis. Keadaan itupun menyeret kiprah KH Mahfudz Sjamsulhadi ke pusat kekuasaan di Jakarta. Pada 5 Maret 1959, Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955. Sebagai penggantinya, Soekarno membentuk DPR Gotong Royong.
Keanggotaan DPR Gotong Royong, tidak hanya dari partai. Namun, juga dari utusan daerah dan golongan fungsional. Nah, KH Mahfudz Sjamsulhadi menjadi salah seorang anggota DPR Gotong Royong dari pewakilan Partai NU bersama 36 orang lainnya.
Di internal pengurus PBNU saat itu, sempat terjadi perbedaan pendapat tajam dalam menyikapi keterlibatan NU di DPR Gotong Royong. KH Bisri Syansuri dari Ponpes Denanyar, Jombang, yang saat itu menjabat wakil Rais Syuriah PBNU bersama dengan KH M. Dahlan, Imron Rosyidi, dan KH Achmad Siddiq sempat menolak. Mereka berargumen bahwa tindakan Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 yang sah merupakan tindakan melawan demokrasi. Karena itu, jika NU bergabung dengan keputusan tersebut, sama dengan NU menerima gagasan antidemokrasi.
Namun, tidak demikian dengan Rais Syuriah KH Wahab Chasbullah. Dalam pandangan pengasuh Ponpes Tambakberas, Jombang, itu situasi mengharuskan NU mesti terlibat dalam pemerintahan. Hal ini sebagai upaya untuk mencegah kemudaratan. Sebab, kala itu parpol yang sedang dekat dengan kekuasaan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Adapun Partai Islam, seperti Masyumi telah menyatakan oposisi, yang kemudian pada 17 Agustus 1960 dinyatakan bubar oleh presiden.
Saat itu, otomatis hanya ada NU sebagai representasi Partai Islam. Tentu saja, jika NU ikut menjadi oposisi, maka Soekarno yang saat itu sedang gandrung dengan Nasakom, praktis kekuasaan akan dikuasai secara mutlak oleh PKI. Akhirnya, KH Wahab Chasbullah, merujuk pada kaidah fiqih. Dar’ul mafasid muqaddamun alaa jalbil mashalih. Bahwa, menghindari bahaya kerusakan harus didahulukan dari pada meraih kemaslahatan. Dengan prinsip itu, akhirnya kader NU ikut serta dalam keanggotaan DPR Gotong Royong tersebut.
Dalam parlemen tersebut, KH Mahfudz Sjamsulhadi masuk sebagai anggota Komisi C Bidang Pemerintahan dan Keamanan/Pertahanan. Melihat situasi politik ketika itu, Komisi C cukup penting. Terutama untuk meghadapi manuver dari PKI. Di antaranya, upaya untuk menggagalkan usulan PKI kepada presiden untuk membentuk angkatan kelima. Yakni, mempersenjatai kalangan buruh dan tani. Usulan itu ditolak banyak kalangan. Sebab, mereka memahami bahwa usulan tersebut hanya akal-akalan PKI untuk memperkuat barisannya yang sewaktu-waktu bisa memberontak.
Kiprah KH Mahfudz Sjamsulhadi demikian gigih itu tak lain sebagai bentuk kecintaan pada bangsa Indonesia, sekaligus sebagai umat Islam. Perjuangan berlandaskan religiusitas dan nasionalitas. Hal itu juga terungkap dalam kesaksian Soejitno Hardjosoediro dalam sebuah buku berjudul “Proklamasi 17 Agustus 1945: Api Nan Tak Kunjung Padam (Anak Rawa Pening dengan Kemerdekaan)”. Dalam buku terbitan 2006 itu, KH Mahfudz Sjamsulhadi terlibat percakapan dengan Soejitno.
Dalam buku itu ia dengan tegas menyatakan: “Golongan agama dan nasionalis harus bahu-membahu dalam mengisi kemerdekaan ini. Sejarah telah membuktikan sejak jaman pergerakan nasional pada jaman sebelum perang dunia kedua, nasionalisme dan agama itu satu,” ungkapnya.
Kutipan KH Mahfudz Sjamsulhadi itu tampaknya tetap kontekstual sampai saat ini. Upaya-upaya untuk membentur-bentukan kalangan religius dan nasionalis di tengah kebulatan tekad meneguhkan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945, masih terasa menguat.
Kini, nakhoda PWNU Jatim tengah berpindah Gus Kikin. Tentu, akan banyak tantangan ke depan. Selama ini, Jatim menjadi barometer Islam Aswaja di Nusantara. Di Jatim juga, tepatnya di Surabaya, NU berdiri pada 1926. Dalam kalender hijriah sudah berusia Satu Abad.
Sosok dan Kiprah Gus Kikin
Gus Kikin adalah putra KH Mahfudz Anwar dan Nyai Hj Abidah Ma’shum. Dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Nyai Hj Khoiriyah Hasyim, putri sulung Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari, yang diperistri oleh KH Ma’shum Ali, ahli falak asal Maskumambang, Gresik. KH Ma’shum Ali juga pengarang kitab Amtsilah Tasrifiyah. Ia bersuadara atau kakak kandung dari KH Adlan Ali, Cukir, Jombang.
Dari jalur ayah, nasabnya bersambung kepada KH Anwar bin Alwi, pendiri Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in Paculgowang, Jombang. Dari jalur ayah, Gus Kikin adalah adik sepupu KH Anwar Manshur, pengasuh Ponpes Lirboyo, yang saat ini menjabat Rais Syuriah PWNU Jatim.
Pendidikan agama, Gus Kikin tidak hanya belajar di Ponpes Sunan Ampel, Jombang. Tapi, juga di Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Seblak, Jombang, yang didirikan kakeknya. Dari 1963-1970, Gus Kikin menerima pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Parimono. Ia kemudian bersekolah di SMPN 1 Jombang dari 971-1973. Selepas itu, melanjutkan ke SMAN 2 Jombang pada 1974-1977.
Lulus dari SMA, Gus Kikin menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta pada 1975-1979. Pada 2013, ia melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka, jurusan Ilmu Komunikasi.
Gus Kikin menjadi pegawai Djakarta Lloyd setelah lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta. Ia menjalani praktik pelayaran selama 3 tahun. Pada 1988, saat berusia 30 tahun, Gus Kikin menjabat sebagai kepala Cabang Kota Cilegon dari Djakarta Lloyd.
Gus Kikin juga mendirikan lima perusahaan di Kota Surabaya pada1998, dan membuka kantor di DKI Jakarta pada 2000. Ia juga mendirikan banyak perusahaan, termasuk Bama Buana Sakti yang bergerak di bidang transportasi, Bama Bhakti Samudra untuk bidang pelayaran, Bama Bumi Sentosa bidang kontraktor minyak, Bama Bali Sejahtera bidang teknologi informasi, dan Bama Berita Sarana bidang media televisi.
Pada 2016, Gus Kikin ditunjuk sebagai wakil Pengasuh Ponpes Tebuireng. Kemudian, setelah KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) meninggal dunia pada 2020, Gus Kikin ditunjuk sebagai pengasuh Ponpes Tebuireng. Sebelum meninggal, Gus Solah mengadakan musyawarah keluarga dengan seluruh keturunan pendiri Ponpes Tebuireng Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari, untuk memilih Gus Kikin sebagai pemimpin baru.
Saat itu, sekitar 200 lebih orang dari keluarga Ponpes Tebuireng berkumpul untuk memberikan rekomendasi tentang siapa yang akan menjadi pengasuh Tebuireng berikutnya. Tim khusus yang terdiri atas 9 perwakilan keturunan KH Hasyim Asy’ari untuk membahas berbagai usulan dan persyaratan calon pengasuh. Di situlah muncul nama Gus Kikin. (*)