KabarBaik.co – Upaya mitigasi lingkungan di kawasan pesisir Sidoarjo kembali menjadi sorotan setelah sejumlah peneliti mengungkap lonjakan konversi lahan yang terjadi selama empat dekade terakhir.
Tanpa langkah pengendalian ruang yang tegas, kawasan pesisir dinilai berada di ambang kerusakan ekologi yang lebih serius.
Dalam kajian perubahan tata guna lahan 1985–2025, area terbangun di pesisir Sidoarjo melonjak drastis dari 832 hektare menjadi 4.500 hektare. Sebaliknya, luas tambak merosot dari 5.925 hektare menjadi hanya 3.205 hektare.
Perubahan paling masif terjadi di Kecamatan Sedati, Buduran, Waru, dan Tanggulangin. Wilayah-wilayah itu adalah wilayah yang mengalami percepatan pembangunan sejak awal 2000-an.
Peneliti tata ruang pesisir Hafindia Lailatul Nadhifah menyebut perubahan ini sebagai sinyal kuat bagi pemerintah daerah untuk bertindak cepat.
“Mitigasi lingkungan harus diperkuat. Konversi lahan di pesisir sudah melewati ambang aman. Tanpa intervensi kebijakan, risiko abrasi dan penurunan kualitas ekosistem akan semakin besar,” ujarnya, Kamis (4/12).
Hafindia menambahkan hilangnya ruang hijau dan penyusutan sabuk pelindung pesisir telah meningkatkan paparan kawasan terhadap ancaman rob dan penurunan tanah yang selama ini menjadi karakter khas Delta Brantas.
Senada dengannya, Dosen Perencanaan Wilayah, Dr. Moch. Shofwan, turut menekankan pentingnya strategi mitigasi jangka panjang yang komprehensif.
“Pemerintah harus mengambil langkah cepat. Penataan ulang garis pantai, revitalisasi mangrove, dan pengetatan pembangunan di zona rawan adalah prioritas. Tanpa regulasi yang kuat, tekanan terhadap lingkungan pesisir akan semakin berat,” tegasnya.
Berdasarkan proyeksi 2025, luas lahan terbangun diperkirakan mencapai 5.452 hektare—angka yang menegaskan pesatnya pertumbuhan perkotaan. Shofwan mengingatkan agar pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan keseimbangan ekologis.
“Keseimbangan tata ruang adalah kunci. Pembangunan ekonomi tidak boleh berdiri sendiri tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan bagi generasi yang akan datang,” ujarnya.
Kajian tersebut menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat pesisir, dan sektor usaha untuk mencegah kerusakan ekologis yang lebih besar. Tanpa sinergi dan langkah nyata, Sidoarjo berisiko menghadapi krisis lingkungan yang semakin sulit dipulihkan. (*)







