KabarBaik.co – Kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema) menyeret mantan Direktur Awan Setiawan. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim).
Namun, penetapan tersebut dinilai janggal oleh tim kuasa hukum Awan. Didik Lestariyono, SH, MH, menilai langkah penyidik terlalu tergesa-gesa dan tidak mencerminkan prinsip keadilan.
“Pengadaan tanah yang menjadi objek perkara telah dilakukan secara terbuka, akuntabel, serta berdasarkan mekanisme dan regulasi yang berlaku. Tanah seluas 7.104 m² yang berlokasi di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru – tepat berdampingan dengan aset milik Polinema – merupakan bagian integral dari Rencana Induk Pengembangan (RIP) Polinema 2010–2034. Letaknya strategis, kondisi fisiknya datar dan siap bangun, sehingga secara teknis sangat ideal untuk pengembangan sarana pendidikan tinggi vokasi,” ungkapnya, Kamis (12/6).
Menurut Didik, harga tanah sebesar Rp6 juta per meter persegi sudah termasuk pajak dan dinilai wajar karena mengacu pada harga pasar.
“Proses ini juga ditangani oleh tim pengadaan tanah yang dibentuk melalui surat keputusan Direktur dan pejabat struktural Polinema,” jelasnya.
Ia juga membantah keterlibatan kliennya dalam negosiasi langsung dengan penjual tanah.
“Semua dilakukan oleh tim pengadaan tanah yang memang SK-nya bertanggung jawab atas seluruh tahapan mulai survei hingga penetapan harga dan transaksi,” tuturnya.
Lebih jauh, Didik menegaskan tidak ada kerugian negara dalam transaksi tersebut. Termasuk kewajiban perpajakan yang sepenuhnya ditanggung oleh pihak penjual.
“Ini merupakan bukti bahwa tidak ada pengeluaran negara di luar ketentuan,” terangnya.
Pengadaan tanah itu, menurutnya, telah sah secara hukum. Bahkan sudah dilakukan penandatanganan Akta Pelepasan Hak dan disertifikatkan atas nama negara.
“Secara hukum, administratif, dan faktual, tanah tersebut telah sah menjadi bagian dari aset negara,” jelasnya.
Menurutnya, kasus ini justru bermula dari penghentian pembayaran sisa harga oleh pihak Polinema setelah Awan tak lagi menjabat.
“Hal tersebut menimbulkan sengketa perdata yang kemudian dibawa ke ranah pengadilan oleh pemilik tanah. Mahkamah Agung Republik Indonesia, melalui putusan kasasi, menyatakan bahwa transaksi jual beli tanah tersebut sah secara hukum dan mengikat secara keperdataan,” bebernya.
Didik pun menegaskan belum ada hasil audit BPK maupun BPKP yang menyatakan adanya kerugian negara.
“Maka, menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa dasar kerugian negara yang jelas adalah tindakan yang tergesa-gesa dan tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum,” tegasnya.
Ia menyebut Awan Setiawan adalah sosok yang menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme.
“Seluruh kebijakan yang beliau ambil selama menjabat sebagai Direktur selalu didasarkan pada pertimbangan kolegial, regulasi yang berlaku, dan semangat memajukan institusi,” pungkasnya. (*)