DI ERA digital, pemerintah hidup layaknya ikan di akuarium kaca. Terlihat dari segala arah. Praktis tak punya ruang sembunyi. Setiap langkah pun siap dihujani komentar. Jalan tidak kunjung dibangun, muncul komentar. Begitu jalan baru selesai diaspal pun, langsung muncul suara. “Baru sehari, besok juga bolong!” Saat taman kota direnovasi, tudingannya, “Ngabisin anggaran, mending buat bansos!” Bahkan program kesehatan gratis pun dipertanyakan. “Obatnya aman? Anggarannya darimana?”
Fenomena ini agaknya tak lagi sekadar ekspresi spontan. Bukan sebatas kebebasan berpendapat, melainkan menjadi budaya baru. Banyak orang menyebut, era cangkeman. Nyinyir sebagai kebiasaan. Seiring waktu, kritik—yang seharusnya membangun—berubah menjadi sport digital. Dan, seperti halnya tren lain di internet, ia menyebar cepat, tanpa filter.
Jika ditilik lebih dalam, ada beberapa lapisan yang membuat nyinyir begitu subur. Salah satunya adalah jarak psikologis antara warga dan pemerintah. Meski sama-sama hidup di satu kota atau kabupaten, keduanya kerap terasa berada di dua dunia berbeda. Pemerintah dianggap jauh, tinggi, dan tak tersentuh. Padahal, sebagian besar keputusan justru dibuat dalam ruang-ruang yang sangat teknis.
Ketika jarak emosional tersebut melebar, maka empati mengecil, dan komentar pun mengeras tanpa pikir panjang. Pokoknya salah! Media sosial, dengan algoritmanya yang memanjakan konten paling emosional, memperlebar jarak itu. Konten marah lebih mudah viral dibandingkan penjelasan panjang yang faktual.
Ada pula faktor Dunning–Kruger yang tumbuh subur di lanskap informasi instan. Di zaman ketika satu thread bisa dianggap “kuliah kilat”, banyak orang mendadak merasa lebih paham dari ahlinya. Satu video TikTok tentang aspal, bisa mengalahkan ratusan halaman dokumen teknis. Padahal, kebijakan publik terdiri atas lapisan kompleks. Mulai anggaran, regulasi, audit, cuaca, risiko lingkungan, hingga dinamika politik daerah. Namun bias kognitif membuat orang awam merasa pendapatnya paling valid. Dari situlah lahir komentar yang lebih didorong oleh rasa percaya diri ketimbang pengetahuan.
Di luar keduanya, media sosial juga berperan sebagai ruang katarsis. Ketika kehidupan terasa padat, macet, harga naik, rumah-tangga, rutinitas melelahkan, banyak orang mencari tempat meluapkan frustrasi itu. Pemerintah menjadi alamat yang mudah dituju. Sebuah studi menyebut sebagian besar pengguna merasa lebih lega setelah mengunggah komentar negatif tentang kebijakan publik. Dengan demikian, nyinyir bukan hanya kritik. Tapi, berfungsi sebagai pelepas stres.
Lantas, apakah pemerintah harus gentar? Tidak. Nyinyir tidak akan hilang, dan tak perlu dihilangkan. Suara-suara itu bagian dari ekosistem demokrasi digital. Pertanyaannya bukan bagaimana mematikannya, tetapi bagaimana mengolahnya menjadi energi publik.
Kuncinya adalah keberanian membuka proses secara transparan. Transparansi tidak cukup sekadar mengunggah dokumen di pojok website. Namun, harus menjelma menjadi narasi yang bisa dilihat, dipahami, dan diikuti. Bayangkan, misalnya, proses lelang disiarkan langsung, memperlihatkan bagaimana keputusan dibuat. Atau sebuah dashboard yang setiap hari memperbarui progres proyek: foto lapangan, persentase, kendala cuaca, hingga catatan teknis sederhana. Ketika publik melihat prosesnya, bukan hanya hasil akhirnya, ruang kecurigaan berpotensi mengecil sendirinya.
Cara merespons komentar juga menentukan. Tidak semua komentar pedas perlu dibalas dengan sikap defensif. Terkadang data cukup, terkadang empati diperlukan, dan sesekali humor menjadi jembatan yang efektif. Saat ada tudingan penyimpangan, pemerintah dapat menjawab dengan rapi. Misalnya, laporan audit tersedia, kanal aduan terbuka, dan bukti akan diproses sesuai hukum.
Di banyak daerah, pendekatan ini justru mengungkap fakta menarik. Tuduhan sering tidak diikuti bukti. Ketika warga menilai “buang-buang duit”, pemerintah dapat mengajak mereka ikut memutuskan seperti dengan membuat polling anggaran, dengarkan pilihan mereka, dan sesuaikan prioritas. Ketika warga merasa diajak bicara, suara mereka bisa jadi berubah. Dari nyinyir menjadi kontribusi.
Bentuk partisipasi publik bisa dikemas lebih kreatif. Ada daerah yang membuka formulir sederhana tentang penggunaan sisa anggaran, dan ribuan suara masuk hanya dalam hitungan hari. Ada pula program pelaporan jalan rusak melalui video yang kemudian ditindaklanjuti sesuai kapasitas anggaran. Pada titik itu, warga bukan lagi sekadar komentator, tetapi menjadi bagian dari mitra pembangunan.
Agar semua berjalan konsisten, butuh tim krisis digital yang siaga setiap saat. Sebuah tim yang memantau kata kunci, membaca sentimen, dan mengoordinasikan respons lapangan. Ketika percakapan tentang “banjir” atau “jalan rusak” meningkat tajam, tim dapat bergerak cepat, menyampaikan klarifikasi, dan menyiapkan penanganan. Setelah situasi mereda, pemerintah merilis penjelasan lengkap. Mulai kronologi, kendala, solusi. Respons cepat semacam ini tidak hanya meredam nyinyiran, tetapi juga membangun rasa percaya.
Pada akhirnya, pemerintah daerah tidak perlu mewaspadai cangkeman itu sebagai ancaman. Nyinyir bukan ledakan yang harus dihindari, tetapi sinyal yang dapat dibaca, dipahami, dan dimanfaatkan. Era digital menuntut pemerintah yang tidak hanya bekerja, melainkan juga menjelaskan. Tidak hanya mendengar, tetapi merespons dengan kepala dingin. Tidak hanya bertahan, tetapi berkolaborasi.
Sebab, pada akhirnya, publik bukan musuh. Mereka hanya ingin dilibatkan, didengarkan, dan dipercaya. Dan, ketika nyinyir diolah menjadi ruang dialog, pemerintah tak hanya mengelola pembangunan, tetapi juga membangun hubungan. Di titik itulah, cangkeman berubah dari beban menjadi modal, dan kritik menjadi bagian dari proses bersama menciptakan masa depan daerah yang lebih baik.
Tentu, selalu ada juga cangkeman yang ibarat kipas angin rongsok, mau diservis seratus kali pun tetap saja bunyinya berisik. Atau, seperti payung bolong, dipakai hujan-hujanan tetap saja menyalahkan langit. Yang penting, bagaimana menjaga nalar tetap waras. (*)






