KabarBaik.co- Di lingkungan institusi pendidikan, ada adagium ’’ganti menteri ganti kurikulum’’. Rasanya adagium ini sudah berkembang begitu lama di tengah-tengah masyarakat. Dan, adagium tersebut tampaknya terjadi lagi sekarang. Perubahan dari Menteri Nadiem Makarim ke Menteri Abdul Mu’ti.
Perubahan itu antara lain rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Abdul Mu’ti yang menghidupkan lagi sistem penjurusan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Ada jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Di masa menteri sebelumnya, Nadiem Makarim, penjurusan itu sudah ’’disuntik mati’’ alias dihapuskan.
Padahal, penghapusan penjurusan untuk pelajar SMA tersebut baru resmi berjalan setahun lalu. Kebijakan itu seiring dengan penerapan kurikulum merdeka, yang didengungkan Nadiem Makarim. Tak pelak, para murid dan guru bakal ‘’keponthalan’’. Mesti menyesuaikan lagi.
Rencana menjalankan penjurusan di SMA itu disampaikan Menteri Abdul Mu’ti dalam acara Halalbihalal bersama Forum Wartawan Pendidikan di Perpustakaan Kemendikdasmen, Jakarta, Jumat (11/4). ’’Jurusan (di SMA) akan kita hidupkan lagi. Ada IPA, IPS, dan Bahasa,’’ ujar Mu’ti, yang juga Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu.
Sistem penjurusan itu sama dengan yang dulu pernah diberlakukan. Untuk jurusan IPA, siswa boleh memilih Fisika, Kimia atau Biologi. Sedangkan IPS ada Akuntansi dan sejenisnya. Dulu, jurusan Fisika dinamakan A1, Biologi (A2), jurusan IPS (A3), dan Bahasa (A4).
Diketahui, tidak lama setelah menjabat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim mengusung konsep kurikulum merdeka. Di antara implementasinya antara lain meniadakan Ujian Nasional, menghapus penjurusan, dan beberapa program lainnya. Sejak 2021, kebijakan tersebut sudah diterapkan secara bertahap.
Pada 2022, kurikulum merdeka sudah diterapkan di 50 persen sekolah di seluruh Indonesia. Selanjutnya, pada tahun ajaran 2024/2025, tingkat penerapan Kurikulum Merdeka mencapai 90-95 persen.
Dalam penjelasannya ketika itu, dengan penghapusan jurusan di SMA itu, maka para siswa bisa memilih mata pelajaran secara lebih leluasa sesuai minat, bakat, kemampuan, dan aspirasi studi lanjut atau kariernya. Misalnya, seorang murid yang ingin berkuliah di program studi teknik, ia bisa menggunakan jam pelajaran pilihan untuk mata pelajaran Matematika tingkat lanjut dan Fisika tanpa harus mengambil mata pelajaran Biologi.
Sebaliknya, seorang siswa yang ingin berkuliah di kedokteran, bisa menggunakan jam pelajaran pilihan untuk mata pelajaran Biologi dan Kimia tanpa harus mengambil mata pelajaran Matematika tingkat lanjut.
Penghapusan penjurusan itu diharapkan membuat murid bisa lebih fokus. Anak didik dapat membangun atau mengembangkan basis pengetahuan yang relevan dengan minat dan rencana studi lanjut ke depannya. Jika murid masih dikelompokkan ke dalam jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, oersiapan yang lebih terfokus dan mendalam akan sulit dilakukan.
Alasan lain, selama ini banyak orang tua memiliki kecenderungan untuk mengarahkan anaknya memilih jurusan IPA. Sebab, jurusan IPA dianggap memiliki keistimewaan atau kemudahan saat mendaftar kuliah. Padahal, pilihan tersebut belum tentu cocok dengan bakat, minat, dan rencana karier anak bersangkutan.
Penghapusan jurusan di SMA itu juga diyakini akan menghapus diskriminasi terhadap murid jurusan non-IPA dalam seleksi nasional mahasiswa baru. Dengan kurikulum merdeka, maka semua murid lulusan SMA/SMK dapat melamar ke semua program pendidikan (prodi) di perguruan tinggi melalui jalur tes tanpa dibatasi oleh jurusannya saat di SMA/SMK tersebut.
Nah, ketika penerapan kebijakan tersebut sudah hampir 100 persen, eh ternyata kurikulum model demikian itu tidak lagi berjalan seperti rencana awal.

Alasan Jurusan Dihidupkan Lagi
Penjurusan di SMA yang bakal diberlakukan lagi oleh Menteri Abdul Mu’ti itu terkait penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pengganti ujian nasional (Unas/UN). Termasuk pelajar jenjang SMA. Rencananya, TKA itu akan dimula November 2025 untuk pelajar SMA kelas XII. ’’(TKA) Tak menjadi penentu kelulusan tapi punya banyak hal,’’ kata Mu’ti kepada wartawan.
Di antara keuntungan mengikuti TKA bagi pelajar SMA adalah nilainya akan menjadi salah satu pertimbangan untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) jalur nontes atau jalur prestasi, selain rapor dan prestasi siswa bersangkutan. ’’TKA akan jadi pertimbangan yang menentukan seseorang diterima atau tidak di PTN. Bahkan, (sedang) diusulkan TKA itu bisa jadi tes masuk PTN, sehingga tak perlu tes masuk lagi. Tapi, ini masih dijajaki,’’ ungkapnya.
Mu’ti mengatakan, TKA didesain akan menjadi alat ukur yang valid dan reliabel. Selama ini, bila mengandalkan nilai rapor, ditemukan kasus-kasus guru mengatrol nilai rapor kepada siswa-siswinya. ’’Nilai rapor menyangkut validitasnya. Banyak guru sodaqoh nilai (di rapor),’’ katanya.
Dia mencontohkan, ada temuan seorang siswa mendapatkan nilai 100 untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. Nah, karena penasaran, siswa yang nilainya 100 itu kemudian ditanya soal membaca teks dan percakapan dalam bahasa Inggris. Ternyata, nilai di dalam rapor yang 100 tersebut tidak linear dengan kemampuan siswa bersangkutan.
Selain itu, sejak Unas ditiadakan, beberapa kampus di luar negeri juga tidak bisa menerima calon mahasiswa dari Indonesia. Sebba, tak ada alat ukur standar kelulusan dan sekolah secara nasional. Nah, TKA yang menjadi alat ukur kemampuan individual itu bisa menjadi solusinya. ‘’Jadi, TKA tak jadi penentu (kelulusan), tapi penentu banyak hal,’’ paparnya.
Saat ini, aturan TKA tersebut sudah selesai dibuat. Kini, dalam tahap harmonisasi dengan Kementerian Hukum. Sedangkan pelaksanaan teknisnya, TKA untuk jenjang SMA kelas XII akan dilakukan November 2025 dengan penyelenggara di Kemendikdasmen pusat, tingkat SMP kelas IX akan dilakukan tahun 2026 dengan penyelenggara sebagian pusat dan sebagian provinsi. Lalu, TKA tingkat SD kelas VI dilakukan tahun 2026 dengan penyelenggara di tingkat kabupaten/kota.
Adapun mata pelajaran yang akan diujikan dalam TKA, untuk SMA meliputi bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Matematika, dan dua mata pelajaran pilihan. Untuk jenjang SD dan SMP, hanya akan diujikan empat mata pelajaran. Yakni, bahasa Indonesia, Matematika, dan dua mata pelajaran pilihan.
‘’Kenapa TKA tak wajib? Kami public hearing ada yang menyoal, wajib itu melanggar HAM (hak asasi manusia), dianggap membuat murid jadi stres. Agar tak melanggar HAM dan tak stres, yang siap saja yang ikut. Yang tak siap, ya sudah, tak ada konsekuensi apa-apa,” tegas Mu’ti.
Lalu, apa penentu kelulusan? Menurut Mu’ti, lulus dan tidak lulus akan ditentukan oleh satuan pendidikan terkait. Termasuk menerbitkan ijazah. Sekolah yang belum atau tidak terakreditasi, tidak memiliki hak untuk menerbitkan ijazah. (*)