KabarBaik.co- Amerika Serikat (AS) resm “mematikan mesin” pemerintahannya mulai Rabu (1/10) waktu setempat. Kebuntuan politik di Kongres membuat DPR dan Senat gagal menyepakati anggaran negara. Akibatnya, pemerintahan federal berhenti beroperasi sebagian, dalam kondisi yang dikenal dengan istilah government shutdown.
Dampak langsung dari keputusan itu sudah terasa di dalam negeri. Ratusan ribu pegawai federal dipaksa cuti tanpa gaji, sementara sebagian layanan publik berjalan setengah hati. Departemen Kesehatan, Badan Penerbangan, hingga Taman Nasional memangkas staf besar-besaran.
Namun, layanan yang dianggap esensial seperti pengendali lalu lintas udara, keamanan bandara, dan rumah sakit, tetap berjalan, meski banyak pekerja harus melakukannya tanpa kepastian kapan gaji mereka akan dibayarkan.
Shutdown kali ini lebih mengkhawatirkan dibanding sebelum-sebelumnya. Pemerintah bahkan sudah menyiapkan skenario pemutusan kerja (PHK) massal jika kebuntuan berlangsung lama. Hal ini bukan hanya mengancam nasib pegawai negeri, tetapi juga bisa mengguncang ekonomi karena belanja rumah tangga dan kontrak bisnis pemerintah macet.
Bagi masyarakat Amerika, dampaknya terasa dalam hal-hal kecil sehari-hari. Mulai Antrean imigrasi lebih panjang, taman nasional tanpa penjaga, hingga risiko terhentinya bantuan makanan bagi keluarga miskin jika krisis berlarut-larut.
Namun, imbasnya shutdown AS itu berpeluang tak berhenti di dalam negeri. Getarannya bisa sampai ke negara lain, termasuk Indonesia. Pasar keuangan global biasanya bereaksi cepat terhadap gejolak di Washington. Nilai dolar berpotensi naik-turun tajam, dan rupiah pun bisa ikut terguncang.
Jika ekonomi AS melambat karena krisis tersebut, permintaan terhadap barang impor pun bisa menurun. Termasuk produk-produk dari Indonesia seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan lainnya.
Gejolak di pasar saham juga mungkin terjadi. Investor asing yang cemas bisa memilih “parkir” uangnya di aset aman seperti emas atau obligasi AS, dan meninggalkan pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Meski dampak langsung ke kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia kecil, kabar buruk dari AS bisa memengaruhi sentimen pelaku usaha dan membuat konsumen lebih berhati-hati dalam belanja.
Singkatnya, kebuntuan politik di Washington bukan hanya masalah Amerika. Getarannya bisa ikut terasa di Jakarta, lewat jalur keuangan dan perdagangan.
Sementara itu, di tengah ketidakpastian itu, Presiden AS Donald Trump angkat bicara. Mengutip beberapa sumber, Trump menegaskan bahwa shutdown bisa menjadi kesempatan untuk memangkas program-program yang selama ini didukung lawan politiknya, Partai Demokrat.
“Kita bisa melakukan hal-hal selama shutdown yang tak bisa dibalikkan, seperti memangkas banyak orang, memotong hal-hal yang mereka sukai, memotong program-program yang mereka sukai,” kata Trump.
Dia juga menyebut kemungkinan pemutusan hubungan kerja dalam jumlah besar. “Kami akan memberhentikan banyak orang… dan mereka (yang terkena) adalah Demokrat,” ujarnya.
Pernyataan ini memperlihatkan bahwa Trump tidak hanya melihat shutdown sebagai krisis, tetapi juga sebagai peluang politik untuk menekan lawan. Sementara itu, kubu Demokrat menilai strategi tersebut berisiko menghancurkan kepercayaan publik dan memperburuk penderitaan warga yang bergantung pada layanan pemerintah.
Dengan kondisi seperti ini, dunia kini menunggu: apakah kebuntuan anggaran di Washington bisa segera diakhiri, atau justru akan membuka babak baru perseteruan politik yang lebih keras—dengan dampak yang bisa meluas hingga ke seluruh dunia.
Diketahui, di Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives) AS, Partai Republik memegang kendali dengan 220 kursi, sementara Demokrat memiliki 213 kursi. Ada dua kursi yang masih kosong. Artinya, Republik unggul tipis, sehingga setiap suara bisa menjadi penentu dalam pengambilan keputusan besar, termasuk soal anggaran negara.
Sementara itu, di Senat, Partai Republik juga memimpin dengan 53 kursi. Demokrat memiliki 45 kursi, ditambah 2 senator independen yang biasanya berkoalisi dengan mereka. Meski demikian, mayoritas tetap berada di tangan Republik, memberi mereka posisi tawar lebih kuat dalam negosiasi.
Komposisi ini membuat perseteruan politik semakin tajam. Di satu sisi, Republik merasa cukup percaya diri untuk menekan agenda mereka. Di sisi lain, Demokrat masih bisa menggalang kekuatan melalui senator independen dan dinamika internal yang ketat.
Situasi mayoritas tipis inilah yang menjelaskan mengapa Kongres sering kali terjebak dalam kebuntuan. Satu-dua suara saja bisa mengubah hasil voting, dan itu berarti kompromi politik menjadi sangat sulit tercapai. (*)