SETIAP 10 November, bangsa ini menunduk hormat pada para pahlawan. Di televisi, upacara berlangsung khidmat. Di linimasa, orang menulis kalimat bijak. Di kantor-kantor pemerintah, pegawai berdandan ala pahlawan, lagu-lagu kepahlawanan mengalun bangga. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah kembali menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sejumlah tokoh.
Namun tahun ini terasa berbeda. Bukan hanya karena yang diusulkan ada nama Soeharto, presiden kedua RI itu. Tapi, juga karena yang sedang berkuasa adalah Prabowo Subianto, mantan atau menantunya. Semacam reuni keluarga, tapi versi kenegaraan. Kalau di sinetron, mungkin judulnya “Cinta Lama Bersemi di Istana Negara”. Kalau di dunia sejarah, disebut dinamika politik atau kalau mau jujur, “drama bangsa”.
Sebagian terharu dan bangga, sebagian lain terperangah, sebagian lagi sibuk membuat meme. Ada yang berkata, “Lho, bukannya pahlawan itu yang melawan penjajah?” Ada pula yang menimpali, “Ya, penjajahnya bisa macam-macam: kadang berseragam asing, kadang berseragam kebijakan.” Di negeri yang penuh humor dan luka ini, setiap peristiwa selalu punya dua sisi. Yang serius dan yang sarkastik.
Tapi di luar hiruk pikuk politik dan debat warung kopi, ada pertanyaan yang lebih dalam sekaligus lebih lucu kalau kita pikirkan baik-baik. Apakah para pahlawan yang sudah tiada itu masih peduli dengan gelar-gelar duniawi yang kita sematkan? Jangan-jangan di alam sana mereka sedang bercengkerama, sambil berkata: “Waduh, ternyata setelah mati pun masih bisa naik pangkat?”
Atau malah ada yang kelimpungan. “Aduh, jadi pahlawan nasional? Waduh, tanggung jawabnya nambah nih di hadapan Tuhan!”
Sebab, kalau kita percaya akan hari kebangkitan, mungkin di sana gelar justru menjadi beban tambahan saat audit amal. Bayangkan suasana sidang akhirat:
“Saudara ini Pahlawan Nasional?”
“Iya, Yang Maha Kuasa.”
“Baik, berarti pengaruhnya besar. Amalnya juga harus besar. Mari kita cocokkan data.”
Mungkin, sekonyong-konyong, keringat dingin muncul meski suhunya surgawi.
Lucu juga kalau dipikir-pikir. Di dunia, kita berebut gelar. Di akhirat, kita mungkin justru ingin menanggalkannya. Sebab, di hadapan Yang Maha Adil, gelar tak laku. Jabatan tak berlaku, hanya niat dan amal yang masih diterima. Gelar dunia mungkin bisa membuka pintu istana, tapi bukan pintu surga.
Jadi, barangkali setiap 10 November ini, alih-alih sibuk berdebat menentukan siapa yang pantas diberi gelar, sebaiknya kita perlu bertanya. Apakah kita sudah hidup dengan semangat kepahlawanan itu sendiri? Semangat untuk berkorban tanpa pamrih, bekerja tanpa kamera, membantu tanpa undangan media. Karena sejatinya, pahlawan bukan yang dikenang, tapi yang menyalakan terang, walaupun tidak disebut-sebut di pidato kenegaraan.
Namun memang begitulah bangsa ini. Kita biasa lebih sibuk memberi gelar ketimbang meneladani maknanya. Kita suka membuat monumen, tapi lupa merawat nilai. Kita berdebat soal siapa pahlawan sejati, tapi masih tega menyontek, menyuap, atau mengeluh di jalan sambil mengumpat harga BBM. Kadang, heroisme kita cuma di caption media sosial.
Pemberian gelar pahlawan ini harus menjadi momentum untuk menengok diri. Bukan sekadar mengulang upacara seremonial. Sebab, gelar hanyalah simbol. Sedangkan semangat kepahlawanan itu soal keberanian menghadapi zaman. Mungkin pahlawan masa lalu mengangkat senjata. Pahlawan hari ini mengangkat suara dan pahlawan masa depan, siapa tahu, cukup berani menolak korupsi meski sendirian di ruang rapat.
Dan bila benar Pak Harto atau siapa pun nanti mendapat gelar itu, semoga maknanya bukan sekadar penghormatan formal, melainkan juga pengingat bahwa kekuasaan, sehebat apa pun, suatu saat akan selesai. Dan yang tersisa hanyalah amal dan kenangan. Sejarah bisa mencatat dengan tinta emas, tapi Tuhan mencatat dengan tinta nurani.
Akhirnya, setiap 10 November bukan hanya soal siapa yang sudah gugur, tapi juga siapa yang masih berjuang dengan jujur. Bangsa besar bukan hanya yang mengenang pahlawan masa lalu, tapi juga yang melahirkan pahlawan baru. Di kampung-kampung, di sekolah, di rumah sakit, di lorong-lorong jalan, di kantor-kantor kecil tempat orang bekerja tanpa pamrih.
Selamat Hari Pahlawan. Semoga kita semua, setidaknya hari ini, tidak sibuk jadi hakim atas masa lalu, tapi jadi murid dari sejarah. Dan kalau boleh menutup dengan sedikit humor yang serius: “Kalau semua yang sudah wafat terus diberi gelar, jangan-jangan nanti kita yang hidup malah jadi beban sejarah.” (*)






