KabarBaik.co – Damar kurung. Nama yang tidak asing bagi banyak orang, terutama warga Kabupaten Gresik. Dulu, perayaan Ramadan wilayah ini tidak bisa lepas dari damar kurung. Namun, tradisi itu perlahan terkikis zaman.
Lentera lampu berbentuk kubus itu biasa menghiasi rumah warga saat bulan suci Ramadan tiba. Terutama untuk menyambut malam Lailatul Qadar. Dipasang menggantung di depan rumah maupun lingkungan jalan.
Namun, tradisi itu mulai terganyang zaman. “Mulai terasa sejak Covid-19, perlahan jumlah pesanan terus berkurang,” ujar Adriyanto, generasi kedua dari Maestro Damar Kurung Masmundari kepada awak media, baru-baru ini.
Bisnis keluarga itu juga sempat mandeg pasca kepergian Rokayah pada Juli 2024 lalu. Ibu Adriyanto sekaligus putri tunggal dari Masmundari. “Ditambah banyak pengrajin lainnya yang ikut memproduksi. Namun kami bersyukur ada yang masih melestarikan,” bebernya.
Pengerajin asal Kelurahan Tlogppojok, Kecamatan Gresik itu pun bercerita. Biasanya, sebelum memasuki bulan Ramadan banyak pesanan datang dari berbagai kalangan.
Bahkan, biasanya terjual habis saat musim ziarah makam, masyarakat Kota Pudak biasa menyebutnya sebagai padusan. “Untuk tahun ini belum ada yang memesan, sehingga kami sengaja tidak memproduksi,” tuturnya.
Hal itu pun disebabkan berbagai faktor. Mulai dari turunnya minat masyarakat, munculnya lampu lentera yang lebih modern, hingga banyaknya pengerajin damar kurung lainnya.
Meski demikian, pria 35 tahun itu tetap mempertahankan ciri khas asli damar kurung. Hal itu merupakan amanah dari sang ibu agar terus melestarikan damar kurung asli peninggalan Masmundari.
“Pesannya kalau rejeki sudah ada yang mengatur. Kalau ingin asli ya silahkan datang kesini,” kenang bungsu dari 5 bersaudara itu.
Latar aktivitas masyarakat Gresik menjadi ciri khasnya. Mulai dari kegiatan pasar bandeng, pengajian, hingga kegiatan keagamaan lainnya. “Gambarnya juga menyerupai wayang kulit. Terinspirasi dari kakek yang merupakan seorang dalang,” ungkap Nurhayati, anak pertama almarhum Rokayah.
Dengan cekatan, jemarinya juga lihai merakit rancang bangun berbentuk kubus. Ukurannya pun bervariasi, mulai dari 30 hingga 50 sentimeter persegi. “Setiap biji saya jual mulai Rp 35 ribu hingga 75 ribu,” sebut perempuan 49 tahun itu.
Perkembangan zaman juga menuntutnya lebih kreatif. Yakni membuat damar kurung berbahan dasar akrilik. Desain tersebut dinilai lebih kuat dan tahan lama. “Memang lebih mahal, paling kecil Rp 300 ribu,” ungkapnya.
Semangatnya untuk berkarya tentu masih terus terjaga. Hal itu tidak terlepas dari dukungan dari banyak pihak. Salah satunya diwujudkan dalam museum virtual “Mbah Masmundari” yang bisa diakses melalui website. (*)