SABTU, 27 September 2025, pukul 19.15 WIB, dunia jurnalisme Indonesia dikejutkan sebuah tindakan yang dapat mencoreng semangat demokrasi. Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden mencabut kartu identitas liputan Istana milik Diana Valencia, jurnalis CNN Indonesia.
Penyebabnya? Gara-gara pertanyaan yang diajukan kepada Presiden Prabowo Subianto saat wawancara cegat di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. “Apakah Bapak memberi instruksi khusus kepada Badan Gizi Nasional (BGN) terkait kasus keracunan dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG)?”
Insiden tersebut meledak menjelang 28 September, bertepatan dengan World News Day bertema When Facts Truly Matter sekaligus International Day for Universal Access to Information PBB atau juga dikenal Right to Know Day. Tak ayal, kejadian itu menjadikannya satu catatan ironis bagi semangat kebebasan pers dan transparansi.
Sejatinya, pertanyaan Diana itu relevan dan kontekstual. Program MBG sedang dalam sorotan. Pasalnya, belakangan terjadi serentetan tragedi keracunan di banyak daerah. Sejak diluncurkan Januari 2025, angka totalnya melonjak hingga 5.626 di 16 provinsi per September 2025. Naik empat kali lipat dalam tiga bulan. Kasus inipun dapat memicu trauma para orang tua.
Presiden Prabowo sendiri sebetulnya menjawab informatif. Ia menyebut akan memanggil Kepala BGN Prof Dadan Hindayana untuk evaluasi, mengakui kendala seperti lactose intolerance atau kebiasaan makan lokal, dan menegaskan keberhasilan program hingga 99,99 persen, meski ada ratusan kasus keracunan dari 3,4 juta penerima.
Namun, rupanya BPMI menganggap pertanyaan Diana itu “di luar konteks acara”. Karena itu, ID Card wartawan Istana yang dimiliki Diana dicabut, tanpa dasar etik yang jelas sehingga banyak pihak menyebut tindakan itu melanggar UUD 1945 Pasal 28F dan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Reaksi komunitas pers langsung bergema. Dewan Pers menyesalkan tindakan ini sebagai penghalangan tugas jurnalistik, menuntut pengembalian akses Diana, dan meminta Istana mencegah pengulangan, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyebutnya ancaman terhadap kerja jurnalistik, siap mendampingi Diana ke Dewan Pers.
Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) menilai ini sebagai upaya membungkam kebebasan berpikir. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menunjukkan solidaritas dalam isu kebebasan pers, meskipun pernyataan spesifik untuk kasus ini masih terbatas pada kolaborasi umum. Forum Pemred juga bereaksi tegas, melihat tindakan ini sebagai ancaman terhadap independensi media. Pihak CNN Indonesia juga telah mengirim surat protes.
Insiden ini menohok. Betapa tidak, terjadi di tengah sorotan publik terhadap MBG, yang diskusinya di media sosial didominasi kekhawatiran akan risiko, bukan manfaat. Pertanyaan Diana mewakili suara publik yang menuntut keterbukaan dan akuntabilitas atas program unggulan pemerintah itu.
Jika pertanyaan seperti ini dianggap ancaman, lalu bagaimana fakta bisa diuji? World News Day menyerukan jurnalisme berbasis fakta sebagai benteng melawan disinformasi, sementara resolusi PBB tentang akses informasi menegaskan hak publik atas transparansi. Namun, tindakan Istana justru dapat melemahkan semangat tersebut.
Kepada BPMI dan Istana: Kembalikan akses Diana, bukan hanya untuknya, tetapi sebagai wujud dan komitmen pada demokrasi. Kepada jurnalis: Teruslah bertanya untuk kepentingan publik, sebab tanpa keberanian itu, publik dapat kehilangan suaranya. Kepada masyarakat: Dukung kebebasan pers, karena fakta adalah hak bersama. Di hari ketika dunia merayakan kebenaran, Indonesia harus membuktikan bahwa fakta bukan musuh, melainkan sekutu. Jika tidak, pintu transparansi akan semakin tertutup, dan kita semua yang merugi. (*)






