Oleh: Muhammad Wildan Zaky
Pagi masih basah oleh embun ketika Wardi sudah menjejakkan kaki di jalanan kampung perkotaan Gresik. Langkahnya beriringan dengan aroma sisa makanan semalam yang menguar dari kantong-kantong plastik hitam.
Dengan tangan kokoh yang mengingat 25 tahun pengabdian, ia mengangkat karung demi karung sampah. Menyusuri lorong-lorong sempit yang tak banyak dilirik orang.
Selama seperempat abad, Wardi tak pernah alpa menjalankan tugasnya sebagai petugas kebersihan di bawah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Gresik. Dusun Amburan, Desa Kandangan, Kecamatan Cerme, menjadi saksi bisu pengabdiannya yang panjang.
Usianya kian bertambah, tetapi tanggung jawabnya tak pernah berkurang. Saban subuh, ia keluar rumah dengan rompi kuning yang sudah tampak lusuh, topi usang, dan semangat yang tak lekang waktu.
Selama Ramadan 1446 Hijriah kemarin, ia tetap berpuasa meski harus bertarung dengan panas, bau sampah, dan kelelahan yang merayap perlahan.
“Puasa itu kewajiban, tidak bisa ditawar,” katanya lirih, sembari menghela napas panjang, saat ditemui di penghujung Ramadan kemarin.
Dalam kantung matanya yang cekung dan nampak kerut, ada cerita yang tak semua orang bisa baca. Anak pertamanya telah tiada. Tak ada kata yang keluar ketika ditanya tentang kepergiannya. Hanya diam, dan tatapan yang menggantung di udara.
Kini, anak keduanya sudah berkeluarga dan memiliki dua buah hati. Kehidupan terus berjalan, begitu pula langkah Wardi yang masih setia menyusuri jalanan dengan gerobak motornya.
Idul Fitri adalah hari raya, satu-satunya hari libur yang sangat berarti baginya. Sehari untuk membersihkan diri setelah setahun membersihkan kota.
Tapi keesokan harinya, saat kebanyakan orang masih sibuk berlebaran, Wardi akan kembali mengangkut sisa-sisa perayaan botol plastik, daun ketupat yang layu, dan petasan yang telah mati.
Sebab baginya, kebersihan tak boleh libur, sama seperti imannya yang tak boleh luntur.(*)
