Oleh: Muhammad Wildan Zaky
LANGIT malam masih diselimuti gemintang ketika langkah kaki tiba di peristirahatan terakhir Kanjeng Sepuh Sidayu. Tepatnya di Desa Kauman, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik. Dekat alun-alun.
Udara terasa berat, seolah menyimpan jejak sejarah panjang seorang adipati sekaligus ulama yang keberaniannya mengguncang para penguasa zaman kolonial.
Makam Kanjeng Sepuh Sudayu berdiri kokoh dengan arsitektur yang berkelindan antara gaya kolonial Belanda dan nuansa khas Nusantara.
Dari kejauhan, suara burung walet berputar mengitari kompleks makam, seakan menjadi pengawal gaib bagi sang wali yang namanya tetap hidup di hati masyarakat.
Muhammad Muqimus Sunnah, Ketua Takmir Satu Masjid Kanjeng Sepuh Sidayu, menyambut dengan senyum teduh. Ia duduk bersila di serambi, mengisahkan bagaimana Sidayu dulunya satu kerajaan dengan Lamongan.
Hingga kini, warga Lamongan kerap berziarah ke sini, membawa beragam hajat seperti kesembuhan, kelancaran rezeki, hingga keberkahan hidup. “Banyak yang datang dengan doa, pulang dengan keajaiban,” ujarnya pelan, Selasa (11/3).
Mbah Kanjeng Sepuh Sidayu bukan sekadar adipati. Ia adalah seorang wali yang dikenal dekat dengan rakyatnya. Setiap malam, ia berkeliling, memastikan tak ada satu pun warga yang kelaparan.
Jika mendengar suara tangis karena perut kosong, ia segera turun tangan Memberikan bantuan tanpa pamrih. Kepekaan pada penderitaan rakyat membuatnya menjadi pemimpin yang disegani sekaligus dicintai oleh rakyat.
Tapi kepedulian saja tak cukup. Mbah Kanjeng Sepuh ternyata punya nyali besar. Terutama ketika perjuangan melawan penjajahan Belanda di masa lampau.
Dalam satu pertemuan para adipati, ketika pembahasan seharusnya berkisar pada upeti untuk Belanda, Kanjeng Sepuh Sidayu dengan lantang menyatakan bahwa topik utama yang layak dibicarakan adalah bagaimana mengusir penjajah dari bumi Nusantara.
Dikisahkan, pernyataan itu tak hanya menggemparkan forum, tapi juga membuat para adipati lain terdiam dalam rasa malu.
Kesaktian Mbah Kanjeng Sepuh sangat melegenda. Suatu hari, para adipati yang takjub dengannya, mengundangnya ke kediaman mereka dan kebetulan dalam waktu yang bersamaan.
Tanpa bingung, Mbah Kanjeng Sepuh hanya cukup mencambukkan Pecut Kuda Kencana miliknya. Seketika, ia hadir di semua tempat dalam waktu yang sama. Kemampuannya membelah diri menjadi legenda yang masih bergaung hingga hari ini.
Namun, keberaniannya melawan kolonial Belanda berujung pada penghancuran rumah sekaligus musalanya, yang kini dikenal sebagai Pasujudan Mbah Kanjeng Sepuh.
“Dulu, tempat ini dibom oleh Belanda,” ujar Muqimus, matanya menerawang, seolah masih bisa melihat kepulan asap yang mengaburkan sejarah.
Pasujudan ini bukan sekadar situs sejarah. Mitos mengitarinya, membentuk narasi mistis yang terus diceritakan dari generasi ke generasi.
Ada yang mengatakan pernah melihat Banaspati. Beberapa mengaku melihat sosok ular besar, menjalar di reruntuhan bangunan.
Di akhir percakapan, Muqimus berpesan bahwa sosok seperti Mbah Kanjeng Sepuh seharusnya menjadi panutan bagi para pemimpin masa kini. “Bupati-bupati sekarang harus meniru keberanian dan kepeduliannya,” ucapnya.
Ia juga mengungkap satu rahasia kecil: salawat yang paling disukai Kanjeng Sepuh adalah Salawat Faqih. “InsyaAllah, siapa yang membaca, akan mendapat berkah,” pungkasnya.
Meski berlalu berabad-abad, jejak Kanjeng Sepuh Sidayu tetap hidup. Setiap malam Jumat Pahing, ratusan peziarah datang. Makamnya bukan hanya tempat perhentian spiritual, tetapi juga penggerak ekonomi.
Sarpani, seorang pedagang di sekitar makam, merasakan betul dampak itu. “Kalau malam Jumat Pahing, Alhamdulillah ramai,” katanya sambil menyusun dagangannya. Dari tasbih, minyak wangi, bunga hingga makanan ringan, semuanya laris terjual.
Langit malam semakin pekat. Burung walet masih berputar di atas makam, seolah ikut mengamini doa-doa yang dipanjatkan. Di sudut-sudut gelap, sejarah terus berbisik, mengisahkan kepahlawanan seorang adipati yang tak hanya mengayomi rakyatnya, tapi juga menantang kolonialisme dengan nyali yang tak tertandingi.(*)