Jejak Kesederhanaan Kiai Thoifur: Dari Kisah Sumur di Makkah hingga Pesan Abadi di Nusantara

oleh -1460 Dilihat
KH THOIFUR MAWARDI
KH Thoifur Mawardi (Foto IST)

KabarBaik.coInnalillahi waa Innailahi Rajiun. Langit Purworejo sore itu seperti turut berduka. Gerimis yang jatuh perlahan pada Selasa (19/8) seolah menjadi air mata alam. Mengiringi kabar berpulangnya KH Thoifur Mawardi, seorang ulama kharismatik dari Jawa Tengah yang selama ini menjadi sandaran ruhani umat. Beliau wafat di usia 70 tahun, meninggalkan jejak panjang ilmu, adab, dan kesederhanaan.

Esok hari, Rabu (20/8), ribuan jemaah tumpah ruah di kompleks Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Kedungsari. Mereka datang dari berbagai penjuru: santri, alumni, tokoh masyarakat, hingga warga biasa yang hanya mengenal sosok kiai lewat cerita. Laksana lautan manusia, halaman pesantren dipenuhi gelombang putih dan hitam. Di antara kerumunan tersebut, hanya satu gema yang terdengar tanpa henti: “Laa ilaaha illallaah…” Kalimat tauhid itu melangit bersama suara tangis tertahan, mencipta suasana haru yang menyayat.

Jenazah sang kiai diusung dengan penuh kehormatan. Suasana itu sekaligus menjadi pengajaran terakhir dari sang kiai bahwa hidup pada akhirnya hanyalah perjalanan pulang. Bagi banyak orang, kehilangan ini bukan sekadar perpisahan seorang guru, melainkan patahnya salah satu pilar penopang ruhani di tanah Nusantara.

Dalam sebuah kesempatan ceramahnya, KH Abdul Qoyyum Mansur atau Gus Qoyyum, pengasuh Pesantren An-Nur, Lasem, pernah berkisah tentang karamah dan keikhlasan Kiai Thoifur. Sejak muda, Thoifur dikenal ikhlas mengabdi. Saat menjadi santri KH Mansur Kholil, ayah Gus Qoyyum yang kala itu mengalami gangguan penglihatan, Thoifur muda dengan sabar dan telaten membantu KH Mansur Kholil untuk menuliskan pelajaran dengan huruf besar-besar sehingga gurunya tetap dapat melihat, membaca, dan mengajarkan kepada santri lain.

Suatu ketika, Thoifur muda dipanggil oleh KH Misbah, adik KH Bisri Mustofa (ayah KH Mustofa Bisri atau Gus Mus). Sama dengan Kiai Bisri, Kiai Misbah juga seorang pengarang dan penerjemah kitab. Karena tulisannya bagus, Kiai Misbah menawari Thoifur muda untuk membantu kepenulisan kitab itu dengan segala kebutuhan dijamin, mulai makanan dan lainnya. Namun, tawaran itu ditolak halus. Thoifur muda memilih tetap setia mengabdi tanpa bayaran di pesantren KH Mansur Kholil, tempatnya belajar.

Kelak di kemudian hari, lanjut Gus Qoyyum, Thoifur berkesempatan belajar ke Makkah, menimba ilmu di bawah bimbingan Sayyid Muhammad Al-Maliki. Di sana, karamah Kiai Thoifur kian tersiar. Saat itu pondoknya sering mengalami kesulitan air. Lalu, Sayyid Muhammad Al-Maliki meminta Thoifur mencari sumber mata air, karena ia dikenal sering mendapat petunjuk lewat mimpi bertemu Rasulullah SAW. Benar saja, berkat petunjuk itu ditemukanlah sumber air yang hingga kini dikenal sebagai Bi’ru Thoifur atau Sumur Thoifur. Sebuah jejak nyata dari keberkahan seorang santri desa yang sederhana.

Keikhlasan itu juga tampak dalam kisah dengan seorang Syaikh Nabil, ulama Makkah yang juga pengarang kitab sekaligus muridnya. Suatu ketika, Syaikh Nabil datang ke Purworejo dan hendak membeli seluruh tanah pesantren Kiai Thoifur dengan nilai miliaran rupiah untuk kemudian diwakafkan kembali kepadanya. Bagi banyak orang, itu tentu tawaran mulia. Namun, Kiai Thoifur justru menolak dengan halus. Kesederhanaannya membuat beliau merasa cukup dengan apa adanya, tanpa tergoda nilai duniawi.

Nama Kiai Thoifur juga harum di telinga tokoh nasional. Pondoknya kerap menjadi jujugan menteri, pejabat, hingga calon presiden. Pada 10 Maret 2025, misalnya, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid bersama Menteri ESDM Bahlil Lahadalia datang bersilaturahmi. Sebelumnya, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar juga pernah berkunjung, dan banyak tokoh lain.

Dalam kesempatan itu, Nusron bahkan menyebut Kiai Thoifur sebagai salah seorang ulama sepuh dengan jaringan luas, terutama di kalangan alumni As-Sayyid Muhammad Al-Maliki di Makkah. “Beliau itu salah satu senior, dituakan di jaringan alumni Al-Qutb Al-Irsyad wad Da’wah,” ujar Nusron kepada wartawan ketika itu.

Di antara lautan manusia yang mengiringi kepergian Kiai Thoifur, ada yang teringat pada sosok karibnya, KH Maimun Zubair atau Mbah Moen, yang wafat lebih dulu di Makkah pada Selasa, 6 Agustus 2019, dalam usia 90 tahun. Seakan ada takdir yang menautkan kedua ulama kharismatik itu. Sama-sama berpulang di bulan Agustus, sama-sama pada hari Selasa. Dua mata air ilmu yang mengalirkan kesejukan bagi umat, kini sama-sama telah kembali ke haribaan Ilahi.

Tangis pelan terdengar bersama kesejukan semesta yang seolah ikut mengiringi. Suasana pemakaman terasa seperti majelis zikir akbar. Tubuh-tubuh berdesakan, lidah-lidah bergetar, hati-hati terpaut pada satu nama Allah SWT. Dan, di tengah lautan manusia itu, KH Thoifur Mawardi beristirahat untuk selamanya, meninggalkan pesan abadi bahwa ilmu, adab, keikhlasan, dan kesederhanaan akan selalu hidup di dada para murid serta masyarakat yang mencintainya.

Masyhur, Kiai Thoifur memiliki kebiasaan mulia yang dijaga sepanjang hidupnya. Di antaranya, beliau tidak pernah berhenti membaca Al-Qur’an hingga rasa kantuk datang. Dalam kesehariannya, Kiai Thoifur senantiasa mengajar berbagai kitab dan istiqamah dalam rutinitas keilmuan. Ada satu waktu khusus yang tidak pernah beliau tinggalkan untuk acara lain, yaitu setiap hari Jumat pukul 10.00 pagi, karena pada saat itu beliau mengisi pengajian umum bersama masyarakat.

Selain itu, Kiai Thoifur dikenal sangat menghormati tamu. Siapa pun yang berkunjung selalu dijamu dengan makanan atau dibuat merasa lega (nglegakke) oleh beliau. Dalam nasihatnya, beliau sering berpesan agar sesama saudara hidup rukun, dan yang lebih tua hendaknya merawat serta mengayomi adik-adiknya. Jika ada kabar kematian, beliau selalu mengutamakan takziyah sebagai wujud kepedulian dan penghormatan.

Di antara ijazah yang beliau wariskan kepada para jemaah adalah amalan keistimewaan Surat Al-Fatihah. Kiai Thoifur mengajarkan, agar keluarga senantiasa mendapatkan hidayah dan petunjuk, bacalah Surat Al-Fatihah sekali setiap selesai salat. Ketika sampai pada ayat “ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm”, bacalah ayat tersebut tujuh kali, lalu memohonlah kepada Allah SWT sesuai dengan hajat yang diinginkan. Setelah itu, lanjutkan dengan membaca ayat “ṣirāṭallażīna an‘amta ‘alaihim, ġairil-maġḍūbi ‘alaihim walāḍ-ḍāllīn”. Aamiin.

Sugeng tindak Abah Kiai. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Supardi Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.