Oleh: Muhammad Wildan Zaky
HUJAN turun perlahan di lereng Gunung Petung, Kecamatan Bungah, Gresik, Sabtu (8/3) malam. Dedaunan yang basah berkilauan dalam temaram malam. Sementara suara gemericik air mengiringi langkah kaki tatkala menapaki tanah liat yang licin.
Di ujung perjalanan, samar-samar tercium wangi yang menusuk indera. Aroma itu bukan sekadar bau tanah basah setelah hujan—melainkan sesuatu yang lebih halus, lebih tua. Mungkin dupa, mungkin kemenyan.
Di tengah kesunyian itu, berdiri megah sebuah kompleks makam yang mencuri perhatian. Tidak sekadar pusara, tapi sebuah monumen sejarah yang menyimpan jejak masa lalu.
Makam Raden Sakti, tokoh yang diyakini masih memiliki garis keturunan Prabu Siliwangi dari Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. Sejarahnya baru ditemukan dalam dokumen pada tahun 1990-an. Sebelumnya, masyarakat sekitar hanya mengenalnya sebagai “Makam Mbah Petung.”
Memasuki halaman makam, kesan pertama yang menyergap adalah keluasan lantainya—seperti pelataran sebuah keraton tua. Di pintu masuk, dua patung tangan harimau kokoh berdiri, masing-masing menggenggam gada.
Harimau, simbol khas Pajajaran, terpahat pula pada tiang-tiang tangga yang mengarah ke makam utama. Wajah-wajah binatang buas itu seakan mengawasi setiap tamu yang datang, memberi kesan mistis sekaligus megah.
Gaya arsitektur ini bukan kebetulan. Harimau dikenal sebagai lambang kekuatan dan kewibawaan dalam kebudayaan Pajajaran. Jejaknya tersebar di berbagai peninggalan kerajaan Sunda, mulai dari relief candi hingga cerita rakyat.
Maka, ketika motif serupa ditemukan di Makam Raden Sakti Gunung Petung, bukan tidak mungkin ada benang merah yang menghubungkan Bungah dengan tanah Pasundan.
Di dalam kompleks makam, nuansa klasik masih terasa kuat. Ukiran-ukiran pada kayu dan motif warna batu sangat menunjukkan pola khas pajajaran.
Detailnya terbilang cukup sederhana. Namun menghasilkan kesan yang klasik seperti goresan tangan seorang maestro yang memahami filosofi di balik setiap bentuk.
Saat menelisik lebih jauh, sosok dengan rambut panjang muncul dari dalam ruang istirahat. Ia menyapa dengan ramah, meski enggan menyebutkan namanya.
Ternyata, pria itu datang jauh dari Ponorogo. “Saya peziarah, sudah di sini sejak dua hari yang lalu,” ucapnya sambil menyiapkan diri untuk beristirahat.
Di malam yang basah itu, suasana semakin mengental dengan nuansa mistik. Sepi, hanya ada suara hujan dan desir angin yang sesekali membawa gemeretak dedaunan.
Makam Raden Sakti bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir seorang tokoh. Ia adalah saksi bisu perlintasan sejarah, persinggahan bagi mereka yang mencari jejak masa lalu.
Bagi masyarakat Bungah, makam ini bukan sekadar situs sejarah. Melainkan bagian dari tradisi yang masih hidup.
Setiap tujuh hari setelah Idul Fitri, saat Hari Raya Ketupat tiba, warga berbondong-bondong datang membawa ketupat. Mereka berdoa, berbagi makanan, dan mengenang perjalanan Raden Sakti.
Di sekitar Bungah, makam-makam tokoh penyebar Islam juga tersebar luas. Nama-nama seperti Mbah Sayyid Iskandar (Desa Kisik), Mbah Ngabar (Desa Sukorejo), hingga Kyai Gede (Desa Bungah) adalah bagian dari jaringan penyebaran agama di masa lampau.
Gunung Petung, yang selama ini sunyi di tengah hijaunya dataran Gresik, ternyata menyimpan sebuah kisah besar. Arsitekturnya bercerita tentang percampuran budaya, reliefnya menuturkan sejarah yang tersimpan.
Dan di tengah hujan malam itu, aroma dupa, harimau yang membisu, serta jejak seorang peziarah, menjadi pengingat bahwa masa lalu tak pernah benar-benar hilang. (*)