KabarBaik.co- Gelombang tak pernah berhenti membasahi pantai. Begitu pula, kembara sang nakhoda dalam mengarungi samudra ilmu, Prof Dr Mohammad Nasih, menjelang labuhan terakhirnya sebagai Rektor Universitas Airlangga (Unair).
Di hadapan civitas academica yang memenuhi Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C Unair, Senin (16/6), ia membentangkan layar laporan. Sebuah cermin atas jejak-jejak pelayaran yang telah terukir.
Prof Nasih, seorang akademisi cemerlang dengan latar belakang Akuntansi. Lahir dan besar dalam kancah ilmu pengetahuan. Sebelum memegang kemudi tertinggi Unair, ia telah mengabdikan diri di berbagai posisi strategis. Menempa visi dan kepemimpinan yang matang. Kisah kepemimpinannya adalah untaian benang emas yang terajut dalam kain sejarah Unair.
“Saya bisa menjadi sekuat ini, dalam artian menjalani banyak hal yang tidak mudah, atas dukungan dan doa dari panjenengan semua,” ucap Prof. Nasih, seperti memancarkan kerendahan hati seorang arif.
Kalimat itu bukan sekadar rangkaian kata, melainkan getaran jiwa yang memahami bahwa setiap langkah besar tak pernah tercipta dari kekuatan tunggal. Ini adalah pengakuan akan sinergi semesta. Di mana setiap elemen, mulai dari dosen, mahasiswa, hingga staf, adalah bintang-bintang penunjuk arah.
Sejak tahun 2007, Unair telah berlayar dalam gelombang transformasi menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Sebuah metamorfosa fundamental yang mengoyak batas-batas lama, memaksakan penyesuaian di setiap sendi.
Ibarat perahu yang mengubah haluan di tengah badai, banyak tantangan dan ancaman yang harus diatasi. Prof Nasih, sebagai salah satu nahkoda yang turut merasakan gelombang itu, memahami betul betapa gigihnya perjuangan tersebut. Tak hanya itu, ketika badai bernama pandemi Covid-19 melanda, Unair kembali diuji.
Namun, di bawah kepemimpinan Prof Nasih, sang perahu tetap tegak berdiri. Bahkan menemukan cara untuk berlayar lebih jauh. “Perjalanan kita selama ini sebenarnya tidak mulus, banyak gelombang yang ukurannya besar-besar harus kita lampaui,” tambahnya, seolah merangkum filosofi kehidupan itu sendiri, bahwa setiap kemajuan selalu diiringi dengan rintangan.
Jejak Bintang dan Langit yang Belum Tersentuh
Di bawah tatapan Prof Nasih, Unair telah mengukir jejak di langit QS World University Rankings, menempati posisi ke-308 dunia. Sebuah bintang terang yang menempatkan Unair sebagai kampus terbaik ke-4 di Indonesia.
Lebih dari itu, pada tahun 2024, Unair menembus gerbang The Impact Ranking, meraih peringkat ke-81 dunia, dan menjadi kampus paling berdampak ke-2 di tingkat nasional. Ini bukan hanya angka, melainkan manifestasi nyata dari komitmen Unair untuk menjadi lentera yang menerangi dunia dengan ilmu pengetahuan dan pengabdian.
Namun, seorang bijak takkan terlena oleh kilauan pencapaian. Prof Nasih, dengan kesadaran penuh seorang pengemban amanah, mengingatkan bahwa masih banyak “pekerjaan rumah” yang menanti. Ia menundukkan kepala, memohon maaf atas gumpalan awan yang mungkin masih belum tersingkap sempurna selama masa jabatannya.
“Kami mohon maaf sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya karena masih banyak PR yang harus kami tinggalkan. Semoga kedepannya bisa lebih baik lagi,” ujarnya, sebuah doa tulus yang memayungi harapan akan masa depan yang lebih cerah.
Estafet Obor dan Cakrawala Baru
Prof (HCUA) Dr H Sunarto SH MH, ketua Majelis Wali Amanat Unair, mengapresiasi tinggi torehan tinta emas kepemimpinan Prof Nasih. “Saya sangat mengapresiasi kinerja rektor di periode 2020-2025. Capaian-capaiannya sangat luar biasa dan harus kita akui bersama.”
Namun, seperti sebuah estafet obor ilmu, Prof Sunarto juga mengingatkan akan hakikat tantangan yang tak pernah padam. “Permasalahan yang akan dihadapi juga tidak lebih ringan, tetapi lebih berat. Merebut sesuatu akan jauh lebih mudah daripada mempertahankan sesuatu yang kita capai,” pungkasnya.
Sebuah nasihat penuh makna, melukiskan bahwa puncak gunung yang telah didaki hanyalah awal dari pendakian baru untuk menjaga keberadaannya.
Di penghujung masa jabatannya, Prof Nasih telah meletakkan fondasi yang kokoh, menginspirasi, dan menaburkan benih-benih kebaikan. Ia telah menjadi simbol ketekunan dan pengabdian, mewariskan bukan hanya prestasi, melainkan juga semangat untuk terus berlayar mengarungi samudra ilmu yang tak bertepi.
Kira-kira, tantangan apa yang akan menanti nakhoda berikutnya dalam pelayaran panjang Unair menuju cakrawala yang lebih luas? Jayalah para Ksatria Airlangga. (*)