Oleh: Muhammad Wildan Zaky
M. Fathur penjaga Museum Sunan Giri, Gresik menyingkap tirai kaca di dalam Museum Sunan Giri, Gresik, dengan memperlihatkan sebilah keris yang menyimpan jejak masa lalu.
“Inilah replika Keris Kalamunyeng,” ujarnya, dengan tatapan yang seakan menembus dinding waktu. Bilahnya berkelok-kelok seperti lantunan doa, dengan gandik lugas dan sogokan yang nyaris mencapai ujungnya.
Kala cahaya menimpa permukaannya, siluet ri pandan dan sraweyan pada bilahnya seolah memancarkan aura mistis. “Keris ini bukan sekadar pusaka, tetapi saksi dari perjalanan seorang wali mahsyur dalam menghadapi tantangan zamannya,” jelas Fathur.
Di kalangan masyarakat, legenda Keris Kalamunyeng sudah lama beredar, bergulir dari bibir ke bibir, tertanam dalam ingatan kolektif. Kisah ini juga tertulis dalam suatu kitab Babad Tanah Jawa.
Kisah bermula dari Sunan Giri, seorang ulama yang ketenarannya menggema hingga ke pusat kekuasaan Majapahit. Keberadaannya mengusik Raja Brawijaya, yang kemudian mengutus prajurit untuk membungkam sang wali dan para pengikutnya.
Suasana malam itu dipenuhi geretak langkah prajurit yang mendekat, seperti gemuruh gelombang yang hendak menghantam karang.
Sunan Giri, yang tengah mengajarkan ilmu agama kepada santrinya, mendengar derap langkah itu. Dengan tenang, ia mengangkat pena yang selama ini menjadi alatnya dalam menggoreskan ilmu.
Doa mengalir dari bibirnya, mengiringi gerakan tangannya yang melempar pena ke arah pasukan Majapahit. Lalu keajaiban pun terjadi.
Pena itu berputar di udara, berubah menjadi sebilah keris yang menderu seperti angin puyuh. Mata bilahnya berkilat di bawah cahaya bulan, melesat dan menebas, memporak-porandakan prajurit lawan hingga tak bersisa.
Saat semua reda, keris itu kembali ke tangan Sunan Giri, bilahnya masih berlumur darah. Sejak saat itu, pusaka tersebut dinamai Keris Kalamunyeng, pena yang berputar, pena yang menebas.
“Legenda itu tetap hidup hingga sekarang, menjadi bagian dari sejarah yang menghidupi museum ini,” lanjut M. Fathur, matanya berbinar dengan semangat pencerita.
Tak hanya replika keris, museum ini juga menyimpan peninggalan lain dari Sunan Giri, seperti surban dan sajadah yang dulu menemaninya dalam perenungan dan ibadah.
Di sudut museum, waktu terasa melambat. Sejarah seakan berbisik lewat benda-benda yang diam, namun penuh makna. Bagi M. Fathur, museum bukan sekadar ruang penyimpanan, melainkan jembatan bagi generasi muda untuk mengenal warisan leluhur. “Jangan hanya melihatnya sebagai benda mati,” pesannya.
“Sejarah adalah nyawa, dan kita yang menentukan apakah ia akan terus hidup atau terkubur oleh zaman,” sambungnya.
Angin sore berembus pelan di halaman museum. Matahari mulai condong ke barat, membiaskan cahaya keemasan yang menerpa dinding museum.
Di dalamnya, kisah Kalamunyeng terus berputar dalam ingatan, seperti pena yang tak pernah berhenti menulis sejarah.(*)