GELOMBANG aksi dan unjuk rasa yang meluas di berbagai daerah untuk mengecam tayangan Xpose Uncensored di Trans7 menandai adanya kegelisahan publik yang begitu dalam. Tayangan tersebut dinilai melecehkan ulama, kiai, santri, dan pesantren, komunitas yang selama berabad-abad menjadi bagian penting dari benteng moral dan spiritual bangsa.
Kendati pihak manajemen Trans7 telah menyampaikan permintaan maaf, kenyataannya langkah itu belum sepenuhnya meredam gejolak. Banyak pihak menilai, persoalan ini tak cukup diselesaikan hanya dengan kata maaf semata.
Kasus ini bukan sekadar kelalaian, cacat produksi atau kekhilafan redaksi. Ini menyentuh ranah yang lebih fundamental. Tanggung jawab moral sebuah media terhadap publik. Dalam konteks bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, agama, dan kesantunan sosial, penghormatan terhadap tokoh agama dan lembaga pendidikan keagamaan adalah bagian dari penghormatan terhadap jati diri bangsa itu sendiri.
Ketika sebuah tayangan justru mengandung unsur penghinaan, walau mugkin tanpa niat, luka sosial yang ditimbulkan bisa sangat dalam.
Media massa, dalam bentuk apa pun, sejatinya memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk opini publik. Karena itu, setiap insan pers dan pekerja media perlu menyadari bahwa kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan tanpa batas. Demokrasi memang memberi ruang untuk berpendapat, mengkritik, bahkan menyoroti perilaku sosial. Namun, di sisi lain, demokrasi juga menuntut tanggung jawab, etika, dan kesadaran moral agar kebebasan itu tidak menyinggung, menyakiti, atau merendahkan pihak lain.
Tayangan yang menyinggung komunitas keagamaan tidak hanya mencederai nilai-nilai keadaban, tetapi juga berpotensi menimbulkan disintegrasi. Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, gesekan sosial akibat konten yang tidak sensitif dapat meluas dengan mudah. Karena itu, langkah hukum dan sanksi administratif perlu diambil oleh lembaga berwenang. Apakah itu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers maupun aparat penegak hukum. Dengan begitu, ada efek jera dan pembelajaran nyata bagi semua. Terutama pelaku industri media.
Di sisi lain, yang terpenting bukan hanya menjatuhkan hukuman, melainkan kita mesti selalu dan terus bersama-sama membangun kesadaran baru tentang pentingnya tanggung jawab sosial dalam setiap produk atau konten siaran. Dunia penyiaran harus menjadi ruang edukatif dan inspiratif, bukan sekadar arena hiburan tanpa kendali. Media harus mampu menyeimbangkan antara kebutuhan pasar dan kewajiban moral untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan religiusitas masyarakat.
Kasus Xposes Uncencored ini hendaknya menjadi momentum introspeksi nasional. Bahwa, kebebasan berekspresi memang hak setiap warga, tetapi hak itu harus selalu disertai tanggung jawab dan rasa hormat terhadap martabat manusia.
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan disrupsi informasi, menjaga kohesi sosial menjadi tanggung jawab bersama. Jangan sampai kebebasan yang kebablasan justru mengoyak jalinan harmoni yang selama ini menjadi kekuatan Republik ini. (*)






