KabarBaik – Sungai Bengawan Solo yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa melintasi berbagai wilayah dari Jawa Tengah sampai Jawa Timur. Kabupaten Bojonegoro merupakan daerah terpanjang yang dialiri Sungai Bengawan Solo, yakni mencapai kurang lebih 100 kilometer.
Selain memiliki manfaat yang besar untuk wilayah Bojonegoro, Sungai Bengawan Solo di kabupaten yang memiliki APBD Rp 8,7 triliun itu memiliki masa kelam pada tahun 1965 silam. Tepatnya pada tragedi G30S-PKI.
Salah satu saksi hidup adalah Mbah Samijah atau yang akrab disapa Mbah Jah. Perempuan kelahiran 1945 yang sekarang berusia 79 tahun ini mengetahui sisi kelam Begawan Solo di Kabupaten Bojonegoro pada saat tragedi G30S-PKI.
Dia menceritakan, Sungai Bengawan Solo merupakan tempat pembuangan mayat warga yang pada saat itu dituduh sebagai anggota partai berlambang palu arit itu. “Kejadian itu seperti saat ini. Pada musim kemarau saat itu air sungai sedang surut banyak mayat yang tergeletak tak ada harganya,” cerita Mbah Jah, Senin (30/9).
Mbah Jah mengatakan, saat itu, mayat manusia seperti bangkai ayam yang dibuang pemiliknya. Bahkan banyak dari mayat-mayat itu dalam kondisi tak utuh. “Banyak yang tanganya hilang, kepala hilang, yang tergeletak di pinggir sungai maupun terapung di air,” tutur Mbah Jah.
Meskipun pada saat itu dia masih kecil, namun Mbah Jah mengingat betul saat tragedi tersebut berlangsung. Saat itu dia masih duduk di Sekolah Rakyat (SR) atau yang saat ini setara dengan sekolah dasar. Di usianya yang masih kecil kala itu sudah tak takut melihat mayat karena telah menjadi pemandangan biasa di Sungai Bengawan Solo.
“Ada juga di pinggir bengawan dibuatkan lubang kecil yang isinya sampai lima mayat,” tambah Mbah Jah. Dia juga menceritakan bahwa eksekutor terduga kelompok PKI adalah seseorang berparas seperti warga Arab Saudi yang berjubah dan berpeci. Dia memastikan mereka bukan seorang tentara.
Menurut Mbah Jah, Ledok Kulon, Kecamatan Kota, kala itu diklaim sebagai wilayah yang banyak dihuni anggota PKI. Saat tragedi G30S-PKI, warga Ledok yang juga merupakan kediaman Mbah Jah setiap waktu Magrib tiba sudah dipastikan pintu rumah tertutup rapat.
“Warga yang hilang selalu dieksekusi setiap habis Magrib. Ada juga yang digelandang dengan tali seperti kambing sebelum dieksekusi dan kemudian dibuang di Bengawan Solo,” cerita Mbah Jah.
Dari banyaknya kejadian yang diingatnya, Mbah Jah menceritakan bahwa tetangganya yang menjadi korban tragedi G30S tidak hanya merupakan anggota PKI. “Saya masih ingat betul saat itu tetangga saya ada yang rumahnya digeledah dan ditemukan foto Pak Karno (Soekarno). Tak berselang lama orang itu hilang dan tak ada kabarnya lagi,” tuturnya.
Saat tragedi G30S-PKI banyak dari warga Ledok Kulon yang lebih memilih lari ke daerah lain untuk menyelamatkan diri. Beruntung keluarga Mbah Jah selamat dari tragedi berdarah itu karena ia merupakan keluarga dari perangkat desa Ledok Kulon yang pada saat itu menjabat sebagai bayan atau salah satu kepala seksi di lingkup pemerintahan desa. (*)