Kisah Perjuangan Dokter Spesialis Ortopedi dan Traumatologi Operasi di Bawah Reruntuhan Ponpes Al Khoziny

oleh -236 Dilihat
IMG 20251001 WA0033
Dr. Larona Hydravianto, Sp.OT saat di temui awak media didepan RSUD (Achmad Adi Nurcahya)

KabarBaik.co – suasana Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, mendadak berubah menjadi kepanikan. Bangunan musala yang menjadi tempat ibadah santri ambruk, menimbun sejumlah orang di bawah reruntuhan. Tangis, teriakan, dan doa bercampur dengan suara alat berat serta derap langkah relawan yang berpacu dengan waktu.

Di balik tragedi itu, ada kisah yang tak akan mudah dilupakan kisah tentang seorang dokter yang melakukan operasi amputasi di bawah reruntuhan, demi menyelamatkan nyawa seorang korban.

dr. Larona Hydravianto, Sp.OT. Malam itu, ia mendapat kabar dari direktur RSUD Sidoarjo bahwa ada satu korban masih hidup, namun tangannya tergencet beton besar. Beton itu terlalu berat untuk dipindahkan, sementara kondisi pasien semakin kritis.

“Ketika saya masuk, aksesnya sangat sempit, hanya sekitar 40–50 sentimeter. Saya harus merangkak sejauh 10 meter. Di dalam, ada dua korban. Satu sudah meninggal, satu lagi masih hidup Nur Rahmat namanya,” kenang dr. Larona.

Nur Rahmat saat itu hanya terbaring lemah. Matanya terbuka, namun tak sanggup bicara. Nadi masih berdetak, tanda harapan masih ada. Namun lengannya terjepit di persendian siku, tak mungkin dilepaskan tanpa tindakan medis besar.

Keputusan sulit pun harus diambil. “Saya melihat langsung kondisinya, dan hanya ada satu jalan yak itu amputasi. Itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan hidupnya,” ujarnya pada awak media di depan RSUD Rabu (1/10).

Namun amputasi di lokasi semacam itu bukan perkara mudah. Ia keluar kembali untuk meminta bantuan tim anestesi, karena risiko pasien mengalami shock dan rasa sakit yang luar biasa sangat tinggi. Tak lama, datanglah dokter Farouk (anestesi) dan dokter Aron (ortopedi), membawa perlengkapan medis darurat.

Dengan penerangan seadanya, mereka bertiga masuk ke bawah reruntuhan. Ruangan sempit, posisi tiarap, hanya diterangi lampu senter. Pisau bedah, tourniquet, dan infus dipersiapkan. Operasi darurat pun dimulai.

“Proses amputasi memakan waktu sekitar 20 menit. Kami memotong sedikit demi sedikit sambil menarik tubuh pasien perlahan keluar. Itu semua dilakukan dalam posisi merangkak, sangat terbatas,” kata dr. Larona.

Akhirnya, Nur Rahmat berhasil dilepaskan dari jeratan beton. Di luar, tim medis segera memberikan oksigen, cairan, dan stabilisasi. Pasien lalu dievakuasi ke RSUD Sidoarjo.

Malam itu juga, ia kembali menjalani operasi lanjutan untuk membersihkan luka dan merapikan bekas amputasi. Kondisinya berangsur membaik, hingga akhirnya sadar kembali.

Bagi dr. Larona, peristiwa malam itu akan selalu membekas. Bukan hanya soal tindakan medis yang dilakukan di bawah reruntuhan, melainkan juga tentang pilihan hidup dan mati yang harus diambil dalam hitungan menit.

“Kami melakukan semua itu demi menyelamatkan satu nyawa. Situasinya tidak mudah, tapi nyawa pasien jauh lebih berharga daripada rasa takut atau lelah,” tuturnya.

Kisah amputasi di bawah reruntuhan ini menjadi potret kepahlawanan tenaga medis, yang tak hanya bekerja di ruang operasi rumah sakit, tetapi juga siap menembus ruang sempit dan berbahaya, demi memastikan satu nyawa bisa kembali bernapas.(*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: Achmad Adi Nurcahya
Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.