KabarBaik.co – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memulai penyelidikan awal atas dugaan praktik monopoli dalam penjualan Liquefied Petroleum Gas (LPG) non-subsidi di pasar midstream. Penyelidikan ini diputuskan dalam rapat komisi yang digelar di Kantor KPPU Jakarta beberapa waktu lalu, sebagai tindak lanjut dari kajian mendalam yang telah dilakukan sebelumnya.
Deputi Bidang Kajian dan Advokasi KPPU, Taufik Ariyanto menyatakan, penyelidikan ini berfokus pada pencarian alat bukti terkait potensi pelanggaran pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
”Kajian KPPU sejak tahun lalu menunjukkan adanya indikasi praktik monopoli dalam penjualan LPG non-subsidi di pasar midstream. Kami menduga pelaku usaha menikmati keuntungan yang tidak wajar (super normal profit) dengan menjual LPG non-subsidi dengan harga tinggi, yang memicu perpindahan konsumen ke LPG bersubsidi,” ujar Taufik dikutip dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (9/3).
Kajian KPPU mendalami struktur pembentukan harga LPG non-subsidi dari hulu hingga hilir. Saat ini, PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) menguasai lebih dari 80 persen pasokan LPG dalam negeri, baik subsidi maupun non-subsidi. Termasuk melalui merek dagang BrightGas. PT PPN juga menjual LPG secara bulk kepada perusahaan seperti BlueGas dan PrimeGas, produsen LPG non-subsidi.
Dari data penjualan 2024, KPPU menemukan adanya keuntungan sebesar 10 kali lipat dibandingkan laba penjualan LPG subsidi, dengan estimasi laba mencapai Rp 1,5 triliun. Keuntungan yang sangat tinggi ini diduga diperoleh melalui perilaku eksklusif dan eksploitatif terhadap konsumen downstream yang juga merupakan pesaing langsung PT PPN di pasar LPG non-subsidi.
“Penjualan dengan harga tinggi ini tidak hanya berdampak pada kompetitor, tetapi juga memengaruhi pola konsumsi masyarakat. Konsumen cenderung beralih ke LPG Subsidi, sehingga beban anggaran negara untuk subsidi meningkat dan penggunaan subsidi menjadi tidak tepat sasaran,” jelas Taufik.
KPPU menduga perilaku PT PPN melanggar pasal 17 UU No.5/1999 karena menyebabkan distorsi harga di pasar. Tingginya harga LPG non-subsidi membuat banyak konsumen enggan beralih dari LPG subsidi, yang seharusnya ditujukan untuk masyarakat kurang mampu. Selain itu, ketergantungan terhadap LPG subsidi turut meningkatkan volume impor LPG, menambah tekanan pada neraca perdagangan Indonesia.
Menurut Taufik, KPPU berkomitmen untuk melanjutkan penyelidikan ini secara transparan dan profesional, sesuai dengan prinsip persaingan usaha yang sehat di Indonesia. “KPPU menilai penyelidikan ini sangat penting untuk memastikan tidak adanya praktik monopoli yang merugikan masyarakat dan stabilitas ekonomi negara. Kami akan mengupayakan pengumpulan bukti-bukti yang kuat untuk memberikan keadilan bagi semua pelaku pasar,” tandas Taufik. (*)






