KabarBaik.co- Jepang mencatat sejarah baru dalam dunia politiknya pada awal Oktober 2025 ini. Sanae Takaichi, politikus konservatif berpengaruh dari Partai Demokrat Liberal (Liberal Democratic Party/LDP), terpilih sebagai pemimpin partai yang berkuasa. Kemenangan ini membuka jalan baginya untuk menjadi Perdana Menteri (PM) perempuan pertama dalam sejarah Jepang.
Kemenangan Takaichi diumumkan usai pemilihan internal partai pada 5 Oktober, di Tokyo. Ia mengungguli pesaing terdekatnya, Toshimitsu Motegi, dengan margin suara yang cukup lebar dalam putaran kedua pemungutan suara. Keberhasilannya ini menandai titik balik penting dalam politik Jepang yang selama ini dikenal maskulin dan konservatif, di mana kepemimpinan nasional selama lebih dari tujuh dekade didominasi oleh laki-laki.
Dari Aktivis Mahasiswa ke Kandidat Perdana Menteri
Takaichi, 64 tahun, bukan sosok baru di politik Jepang. Ia memulai kariernya sejak akhir 1980-an dan telah menjabat berbagai posisi penting, termasuk Menteri Dalam Negeri serta Menteri Urusan Gender dan Inovasi Teknologi di era pemerintahan Shinzo Abe. Selama bertahun-tahun, ia dikenal sebagai loyalis Abe dan salah satu figur utama di sayap kanan LDP, partai yang secara ideologis memegang nilai-nilai nasionalis, pro-pertahanan, dan konservatif budaya.
Lahir di Prefektur Nara, Takaichi menonjol karena gaya bicaranya yang tegas dan kemampuannya mempertahankan argumen dengan ketenangan khas politisi veteran. Di masa mudanya, ia aktif dalam gerakan mahasiswa dan menempuh pendidikan di Kobe University. Perjalanannya menuju puncak LDP mencerminkan ketekunan dan keteguhan menghadapi hambatan gender di dunia politik Jepang yang selama ini masih sulit ditembus oleh perempuan.
Kemenangan yang Mengguncang Status Quo
Pemilihan Takaichi diwarnai antusiasme dan kejutan. Sebagian besar analis memperkirakan bahwa kandidat-kandidat laki-laki seperti Motegi atau Kono Taro akan lebih diunggulkan oleh kelompok faksi tradisional dalam LDP. Namun, dukungan kuat dari blok konservatif dan jaringan politik peninggalan mendiang Shinzo Abe, terutama kelompok Seiwa Seisaku Kenkyukai, menjadi faktor penentu kemenangannya.
The Guardian menyebut kemenangan Takaichi sebagai a decisive moment for Japanese women in politics momen yang mungkin menandai perubahan persepsi terhadap kepemimpinan perempuan di negeri yang secara historis masih memiliki kesenjangan gender besar dalam politik.
Namun, tantangan sesungguhnya bagi Takaichi baru dimulai. Sebagai pemimpin partai mayoritas, ia otomatis menjadi kandidat utama untuk kursi PM menteri menggantikan Fumio Kishida, yang mundur setelah menurunnya dukungan publik dan tekanan internal akibat stagnasi ekonomi. Untuk resmi menjabat, Takaichi perlu mendapatkan persetujuan parlemen, yang hampir pasti disetujui mengingat dominasi LDP di majelis rendah.
Agenda Politik dan Tantangan Berat
Dalam pidato kemenangannya, Takaichi menegaskan bahwa prioritas utamanya adalah menstabilkan ekonomi Jepang, memperkuat pertahanan nasional, dan mempercepat inovasi teknologi, terutama di sektor energi bersih dan keamanan siber. Ia juga berkomitmen melanjutkan beberapa kebijakan ekonomi “Abenomics”, tetapi dengan penekanan lebih besar pada ketahanan sosial dan peran perempuan di dunia kerja.
Meski begitu, sejumlah media menyoroti tantangan besar yang menunggu di depan. Di antaranya, pertumbuhan ekonomi yang melambat di tengah tekanan inflasi global, tantangan demografis berupa populasi menua dan angka kelahiran yang terus menurun, ketegangan geopolitik di kawasan Asia Timur, terutama dengan Tiongkok dan Korea Utara,
Simbol Perubahan, tapi Tetap Konservatif
Kendati menjadi perempuan pertama yang memimpin LDP dan berpotensi menjadi PM, Takaichi bukanlah simbol feminisme progresif. Banyak pengamat menilai bahwa ia adalah sosok konservatif yang kebetulan perempuan, bukan reformis gender. Ia menentang kebijakan perubahan nama keluarga setelah menikah (isu besar di Jepang terkait kesetaraan gender), dan mendukung nilai-nilai tradisional keluarga Jepang.
Namun, fakta bahwa seorang perempuan bisa memimpin partai konservatif sebesar LDP sudah merupakan perubahan besar pada level simbolik. Dalam masyarakat yang masih kerap menempatkan perempuan di posisi politik minoritas-hanya sekitar 10 persen anggota parlemen Jepang adalah perempuan-kemunculan Takaichi di puncak piramida kekuasaan menjadi inspirasi tersendiri.
Kemenangan Sanae Takaichi menandai babak baru politik Jepang: antara harapan dan kehati-hatian. Publik menantikan apakah kepemimpinannya akan membawa semangat baru dalam menghadapi stagnasi ekonomi dan pergeseran geopolitik di Asia.
Jika parlemen Jepang benar-benar menyetujuinya dalam beberapa hari mendatang, Takaichi akan resmi menyandang gelar “Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang”. Ini menjadi sebuah tonggak sejarah yang mungkin akan dikenang tidak hanya sebagai kemenangan politik, tapi juga sebagai simbol perubahan sosial di negeri Matahari Terbit. (*)








