KabarBaik.co — Tekanan industri kian mencengkram garis pantai Gresik. Di Kelurahan Kroman, Kecamatan Gresik, para nelayan kini menghadapi kenyataan pahit. Laut yang dulu jadi ladang penghidupan kini tergerus oleh reklamasi-reklamasi yang dipergunakan untuk pelabuhan atau dermaga perusahaan-perusahaan raksasa. Akibatnya, banyak dari mereka memilih alih profesi menjadi penambang pengemudi perahu kecil yang mengantar-jemput anak buah kapal (ABK) dari kapal-kapal barang.
Fenomena ini diungkapkan oleh Fukron, warga Kelurahan Kroman yang dulunya merupakan nelayan aktif. Ia mengaku beralih profesi sejak lima tahun terakhir, seiring berdirinya dermaga-dermaga besar yang menghalangi ruang jelajah nelayan. “Di sini sudah tidak ada tempat untuk menjaring, orang jaring sudah gak ada tempat. Karena ini perusahaan berjejer jejer sampai di daerah Mengare sana,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Menurut Fukron, hasil melaut kini tak lagi mencukupi kebutuhan hidup. “Dulu waktu jadi nelayan, sehari bisa dapat sekitar ratusan kilo, namun sekarang hasilnya cuma bisa buat dimasak sendiri,” tuturnya sambil terkekeh getir.
Penambang seperti Fukron mengaku pendapatan dari penambang antar jemput ini tidak menentu. Ia menjelaskan, biasanya mendapat 10 penumpang dalam sehari, dengan tarif Rp 25.000 per orang. Para penumpang umumnya adalah ABK yang turun ke darat untuk membeli kebutuhan logistik. “Kadang sepi, kadang ramai. Nggak pasti,” tuturnya.
Di salah satu balai nelayan tersebut, kini hanya tersisa tiga hingga empat orang yang masih bertahan melaut. Sebagian besar memilih menggantung jaring dan mengandalkan orderan dari kapal barang melalui telepon seluler. Namun, Fukron menjelaskan bahwa di balai lain masih banyak para nelayan. “Kalau di balai sana, masih banyak nelayannya. Kalau di sini cuma dua sampai empat orang saja,” pungkasnya.
Hal serupa juga dirasakan Syahid, nelayan sepuh yang tetap bersemangat meski usia tak lagi muda. Ia menjalani hidup dari berbagai pekerjaan: menjaring ikan, mengantar ABK, hingga berjualan sayur dan buah ke kapal-kapal. “Apa pun yang ada rezekinya, saya kerjakan,” kata Syahid. Ia mengaku mulai merasakan penurunan hasil tangkapan sejak delapan tahun lalu, dan akhirnya menjadi penambang sejak empat tahun terakhir.
Syahid menjelaskan kondisi nelayan sekarang dengan nada lirih. “Tangkapan ikan sangat sepi, sedari banyaknya pabrik disini. Ya allah. Jadi kerjanya saya seadanya, kadang nambang, kadang jualan, kadang nelayan,” ucapnya. Ketika nelayan masih jadi profesi yang menjanjikan, pantai Kroman ramai oleh aktivitas penangkapan ikan. Kini, pantai itu didominasi pemandangan kapal barang yang sedang menurunkan dan menaikkan muatan dari perusahaan.
Syahid menjelaskan bahwa sebenarnya lebih enak menjadi nelayan. “Kalau enak-enaknya ya enak nelayan sebenarnya, tapi kan tangkapannya sangat sepi,” ujar Syahid. Namun, mereka tetap bersiaga. Sebuah panggilan dari kapal bisa berarti rezeki hari itu. “Ini kami mengantar lewat telepon dari kapal barang. Kalau sudah langganan, kami ditelpon untuk kami jemput,” tutupnya. (*)