KabarBaik.co – Bagi sebagian orang, emas bukan sekadar perhiasan atau logam mulia. Ia adalah simbol ketenangan, tabungan masa depan, sekaligus pelindung nilai dari gempuran inflasi. Di tengah fluktuasi harga kebutuhan pokok dan ketidakpastian ekonomi, emas tetap berdiri sebagai instrumen investasi yang paling “membumi” di mata masyarakat Indonesia.
Kisah Fitro Suciadi, seorang wiraswasta berusia 46 tahun, bisa menjadi contoh nyata. Sejak masa kuliah, Fitro sudah menaruh minat pada logam mulia. Inspirasi itu datang dari ibunya, seorang perempuan asal Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang memiliki simpanan emas batangan tradisional yang akrab disebut sofren.
“Waktu itu sofren yang disimpan ibu saya meski tidak ada surat resmi, ketika dijual tetap punya nilai tinggi. Dari situ saya sadar, emas itu stabil, gampang dijual, dan tidak bikin ribet,” kenang Fitro saat ditemui di Surabaya, Minggu (21/9).
Bagi Fitro, emas adalah tabungan paling sederhana namun efektif. Harga jual dan beli relatif stabil, proses penyimpanan maupun penjualannya mudah, dan yang terpenting: emas tidak tergerus inflasi.
Berbeda dengan Fitro, cerita lain datang dari Ratih, seorang karyawati bank swasta berusia 38 tahun. Awalnya, ia membeli emas hanya sebagai perhiasan. Koleksi anting, gelang, hingga kalung dengan sentuhan batu permata atau mutiara menjadi kebanggaan tersendiri.
Namun, suatu ketika Ratih harus menghadapi situasi darurat: ia membutuhkan dana cepat untuk biaya pengobatan orang tuanya. Atas saran temannya, Ratih menjual sebagian koleksi perhiasannya. “Saya bersyukur, hasil penjualan itu cukup menutup kebutuhan. Dari situ saya belajar, emas tidak hanya cantik dipakai, tapi juga bisa jadi penyelamat,” ujarnya.
Sejak itu, Ratih mulai serius menabung emas, tidak sekadar membeli perhiasan, tetapi juga berinvestasi emas batangan. Fenomena menabung emas tidak lagi sebatas membeli di toko perhiasan atau datang langsung ke Pegadaian. Kini, layanan digital membuka jalan baru. Melalui aplikasi Pegadaian Digital Service (PDS), masyarakat bisa berinvestasi emas hanya dari ponsel.
Pemimpin Wilayah Pegadaian Surabaya, Beni Martina Maulan, menyebutkan pengguna PDS terus tumbuh pesat. “Saat ini ada sekitar 277 ribu pengguna yang sudah install dan bertransaksi. Target kami 1,2 juta nasabah. Sementara nasabah tabungan emas sendiri mencapai 456 ribu,” ungkap Beni.
Beni mengakui, tidak semua masyarakat familiar dengan aplikasi digital. Karena itu, Pegadaian tetap membuka layanan konvensional. “Bagi mereka yang belum terbiasa dengan smartphone, kantor Pegadaian tetap jadi pilihan. Tapi generasi milenial mendominasi, sekitar 80 persen dari total nasabah berusia di bawah 45 tahun,” jelasnya.
Untuk memaksimalkan layanan digital, Pegadaian terus meningkatkan fitur PDS, mulai dari tampilan, kecepatan, hingga keamanan. “Kami ingin transaksi lebih mudah, cepat, dan aman. Saat ini sedang uji coba sistem terbaru, terutama dari sisi keamanan data dan kenyamanan pengguna,” paparnya.
Tahun ini, harga emas melonjak lebih dari 37 persen sejak Januari hingga September, menembus Rp 2 juta per gram. Alih-alih membuat masyarakat mundur, justru semakin banyak yang melihat emas sebagai investasi menjanjikan.
“Naiknya harga emas memang berpengaruh ke besaran pinjaman gadai. Tapi di sisi lain, masyarakat merasakan cuan yang nyata. Margin keuntungan itu yang bikin orang makin percaya emas adalah instrumen investasi aman,” terang Beni.
Pegadaian sendiri punya mekanisme ketat untuk menjaga kepercayaan. Setiap transaksi tabungan emas disesuaikan dengan ketersediaan fisik emas di folding. “Kami tidak bisa menjual kalau stok emas fisiknya tidak ada. Rata-rata harian secara nasional, kami menjual sekitar 30 kg emas untuk tabungan. Jadi ada early warning system, begitu stok menipis, langsung top up,” kata Beni.
Lebih jauh, emas juga erat kaitannya dengan dunia usaha kecil dan menengah (UMKM). Di Jawa Timur, 68 persen nasabah Pegadaian berasal dari kalangan UMKM. “Ketika ekonomi tumbuh, UMKM butuh modal. Tabungan emas bisa digadaikan untuk tambahan modal usaha. Jadi emas bukan hanya investasi, tapi juga penggerak ekonomi,” ujar Beni.
Data menunjukkan, hingga Agustus 2025, outstanding loan (OSL) Pegadaian Kanwil Surabaya mencapai Rp 11,6 triliun. Dari jumlah itu, Rp 9 triliun atau 80 persennya berasal dari layanan gadai. Angka ini naik 24 persen dibandingkan tahun lalu. “Target tahun ini sekitar Rp12 triliun, dan kami optimistis tercapai. Masyarakat sudah lebih paham, kalau butuh pembiayaan, ada Pegadaian sebagai solusi legal dan aman,” kata Beni.
Kisah Fitro dan Ratih hanyalah dua contoh dari sekian banyak masyarakat yang merasakan manfaat menabung emas. Bagi Fitro, emas adalah warisan nilai dari sang ibu. Bagi Ratih, emas adalah penolong di saat genting.
Di sisi lain, Pegadaian terus berinovasi menghadirkan layanan digital yang aman, mudah, dan terpercaya. Dengan kombinasi kisah nyata masyarakat dan dukungan teknologi, emas tidak lagi sekadar logam mulia, melainkan tabungan harapan yang bisa digenggam di tengah ketidakpastian ekonomi. (*)








