KabarBaik.co- Bagi masyarakat Jawa yang masih memegang teguh tradisi leluhur, prosesi pernikahan bukan hanya sekadar menyatukan dua insan, namun juga sarat akan ritual dan kepercayaan. Di balik kemeriahan dan keindahan upacara, terdapat sejumlah larangan atau pantangan yang dipercaya dapat memengaruhi kelancaran acara hingga kebahagiaan rumah tangga kelak.
Meskipun zaman terus bergerak maju, beberapa larangan adat Jawa menjelang pernikahan ini masih diyakini dan diindahkan oleh sebagian masyarakat. Tujuannya tak lain adalah untuk menghormati tradisi, menghindari kesialan, serta memohon keselamatan dan keberkahan bagi kedua calon pengantin.
Salah satu larangan yang cukup dikenal adalah larangan bagi calon pengantin untuk bepergian jauh tanpa didampingi oleh keluarga atau pendamping. Hal ini dipercaya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti gangguan kesehatan atau godaan yang dapat membatalkan pernikahan. Keberadaan pendamping juga dianggap sebagai bentuk perlindungan secara spiritual.
Selain itu, calon pengantin, terutama wanita, seringkali dilarang untuk keluar rumah terlalu sering menjelang hari pernikahan. Pantangan ini bertujuan untuk menjaga kesehatan dan kecantikan alami calon pengantin agar tampil prima di hari bahagia. Secara tradisional, hal ini juga merupakan simbol bahwa calon pengantin sedang “dipingit” atau dipersiapkan secara khusus untuk memasuki kehidupan baru.
Larangan bertemu atau berkomunikasi secara intensif antara calon pengantin dalam jangka waktu tertentu juga masih dipraktikkan di beberapa daerah. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa rindu dan semakin memantapkan hati keduanya. Selain itu, hal ini juga memberikan waktu bagi masing-masing pihak keluarga untuk mempersiapkan segala keperluan pernikahan tanpa adanya campur tangan langsung dari calon pengantin.
Lebih jauh lagi, terdapat larangan bagi keluarga dekat calon pengantin untuk melayat atau menghadiri upacara pemakaman dalam kurun waktu tertentu menjelang pernikahan. Hal ini dipercaya dapat membawa energi negatif atau kesedihan yang dapat memengaruhi suasana bahagia pernikahan.
Tak hanya itu, pemilihan hari baik untuk berbagai tahapan pernikahan, mulai dari lamaran hingga akad nikah dan resepsi, juga sangat diperhatikan. Menikah di hari atau bulan yang dianggap tidak baik menurut perhitungan kalender Jawa (seperti weton atau bulan tertentu) sebisa mungkin dihindari demi kelanggengan rumah tangga.
Ada satu lagi Menikah di Bulan Suro (Muharram) Dalam kepercayaan masyarakat Jawa bulan suro atau muharram dalam penanggalan orang islam merupakan bulan yang penuh keprihatinan atau musibah.Salah satu pantangan pada malam satu suro untuk tetap berada di dalam rumah untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan karena konon banyak makhluk gaib yang sedang berkeliaran.Dengan dasar itulah masyarakat Jawa cenderung menghindari resiko yang terjadi dengan tidak mengadakan acara pesta sepanjang bulan Suro.
Meskipun sebagian masyarakat modern menganggap larangan-larangan ini sebagai mitos belaka, bagi banyak keluarga Jawa, mengindahkan pantangan ini adalah bentuk penghormatan terhadap warisan budaya dan upaya untuk menciptakan suasana yang harmonis serta penuh harapan menjelang pernikahan.
Terlepas dari kepercayaan masing-masing, larangan-larangan dalam pernikahan adat Jawa ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kekayaan budaya Indonesia. Memahaminya tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga menunjukkan betapa mendalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam setiap tahapan kehidupan masyarakat Jawa.