Merdeka Informasi atau Informasi Merdeka

oleh -345 Dilihat
HUD

OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)

Ini hari Jumat. Udara di halaman rumah terasa sejuk. Pohon mangga yang sudah tua itu seperti ikut tersenyum. Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Angka yang tidak sedikit. Dua puluh tahun lagi satu abad. Delapan puluh tahun lalu, pekik kemerdekaan menggelegar. “Merdeka…!” Kata yang sederhana tapi punya makna setinggi langit.

Delapan puluh tahun berlalu, kita punya banyak hal untuk disyukuri. Tapi, delapan puluh tahun juga, kita punya begitu banyak PR. Salah satunya soal informasi.

Dulu, informasi adalah barang mewah. Hanya mereka yang punya radio, punya koran, yang bisa tahu apa yang terjadi. Apalagi informasi dari Jakarta. Kadang berita itu sudah basi, baru sampai di pelosok.

Sekarang, informasi itu seperti air. Mengalir deras. Kadang terlalu deras sampai kita tenggelam.

Dulu, kita berebut informasi. Sekarang, informasi yang berebut kita. Berebut perhatian kita. Merebut waktu kita. Bahkan merebut akal sehat kita.

Ini semua patut membuat kita merenung. Sebetulnya, kita itu “merdeka informasi” atau “informasi merdeka”. Mana yang lebih pas? Mana yang lebih penting?

“Merdeka informasi” adalah soal hak. Hak kita untuk tahu. Hak kita untuk mendapatkan informasi yang benar, yang akurat, yang relevan. Ini adalah konsekuensi dari kemerdekaan. Tidak ada lagi yang boleh menutupi. Tidak ada lagi yang boleh menyembunyikan.

Dulu, negara ini punya banyak rahasia. Dulu, pemerintah punya banyak hal yang tidak boleh diketahui rakyat.

Sekarang, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik menjamin bahwa semua informasi itu harus dibuka. Kecuali yang memang rahasia atau dikecualikan. Itupun informasi yang disebut rahasia itu juga harus jelas. Ketat dan terbatas. Bukan “pokoknya rahasia”.

Komisi Informasi di provinsi-provinsi atau kabupaten/kota, seperti Komisi Informasi Jawa Timur, adalah bukti menjaga “merdeka informasi” itu. Mereka ada untuk memastikan badan publik tidak lagi bisa sembarangan menutupi data atau informasi. Mereka ada untuk mengedukasi, mengadvokasi hak kita sebagai warga negara untuk tahu. Mereka adalah “penjaga gawang” kemerdekaan informasi.

Tapi, ada sisi lain. Sisi yang juga tidak kalah penting sekarang. Yaitu “informasi merdeka”.Apa itu? Ini bukan soal hak untuk mendapatkan informasi. Ini soal kemampuan kita untuk mengendalikan informasi.

Informasi yang beredar sekarang begitu bebas. Begitu merdeka. Merdeka dari batasan. Merdeka dari filter. Merdeka dari akal sehat.

Informasi sekarang bisa datang dari mana saja. Dari WhatsApp grup, Facebook, X, Instgaran, TikTok, YouTube, dan lainnya. Tidak ada lagi “penjaga gawang” yang jelas.

Dulu, media pers mempunyai peran itu. Mereka adalah “gerbang” informasi. Mereka yang menyaring. Mereka yang memverifikasi. Mereka yang memastikan apa yang sampai ke mata dan telinga kita itu sudah diolah. Sudah dicek. Sudah dipikirkan. Ada kode etik.

Sekarang, semua orang bisa jadi “media”. Semua orang bisa menyebarkan informasi. Betapa hebatnya itu. Betapa dahsyatnya itu. Tapi di situlah juga bahayanya.

“Informasi merdeka” ini membuat kita bingung. Mana yang benar, mana yang salah? Mana yang fakta, mana yang hoaks? Mana yang berita, mana yang fitnah?

“Sekarang ini, informasi itu seperti air bah. Kita nggak bisa lagi menutup keran. Kita nggak bisa lagi membendung. Yang bisa kita lakukan cuma belajar berenang,” kata seorang teman.

Kalimat itu menohok. Betul sekali. Kita tidak bisa lagi meminta pemerintah untuk memblokir semua informasi yang kita tidak sukai. Itu bukan lagi kemerdekaan. Kita tidak bisa lagi meminta orang lain untuk berhenti menyebarkan berita bohong. Itu percuma.

Yang bisa kita lakukan adalah “belajar berenang”. Belajar memilah. Belajar memverifikasi. Belajar berpikir kritis. Belajar menahan diri untuk tidak langsung percaya dan tidak langsung menyebarkan.

Delapan puluh tahun lalu, para pendiri bangsa memerdekakan kita dari penjajah. Mereka memberikan kita hak untuk merdeka. Tugas kita sekarang adalah memerdekakan diri kita sendiri dari kebodohan. Dari kebingungan. Dari “informasi merdeka” yang membius.

Jadi, delapan puluh tahun setelah pekik “Merdeka…!” kali pertama bergema, tantangan kita adalah menciptakan “merdeka informasi” yang sejati. Bukan hanya sekadar hak untuk tahu, tapi juga kewajiban untuk memilah. Kewajiban untuk berpikir. Kewajiban untuk menjadi manusia yang merdeka, tidak hanya dari penjajahan fisik, tapi juga dari penjajahan informasi.

Kemerdekaan sejati bukan hanya soal punya hak, tapi juga soal punya kemampuan untuk menggunakan hak itu dengan cerdas dan bijak. Kemerdekaan itu merupakan hadiah terbaik yang bisa kita berikan untuk Indonesia di usianya yang ke-80 tahun.

Dirgahayu Indonesiaku. Bersatu Berdaulat Rakyat Sejahtera Indonesia Maju. Semoga!

*) M. SHOLAHUDDIN, penulis tinggal di Kabupaten Gresik

 

Punya gagasan menarik tentang isu terkini? Ayo suarakan di platform KabarBaik.co. Kami mengundang Anda untuk mengirimkan tulisan opini/artikel dengan ketentuan: Panjang: 650 – 800 kata, format Dokumen Word (.doc/.docx), Kirim ke: redaksi@kabarbaik.co dengan subjek Opini – (Judul Tulisan). Sertakan juga nama lengkap, profesi/pekerjaan, nomor telepon, dan foto Anda. Kami tunggu kontribusi terbaik Anda!

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Supardi


No More Posts Available.

No more pages to load.