Misteri Kematian Brigadir Esco: Luka di Balik Seragam

oleh -320 Dilihat
BRIGADIR ESCO scaled
Brigadir Esco Faska Relly dan Briptu Rizka Sintiyani. (Foto Polres)

KabarBaik.co – Minggu siang di Dusun Nyiur Lembang Dalem, Desa Jembatan Gantung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), warga digegerkan oleh penemuan tubuh seorang polisi muda.

Brigadir Esco Faska Rely ditemukan tak bernyawa di kebun belakang rumahnya dengan leher terjerat tali dan tubuh terikat pada batang pohon kecil. Keheningan kebun mendadak berubah jadi hiruk-pikuk kepolisian dan warga yang berbondong-bondong menyaksikan.

Identitas Esco segera terungkap dari pakaian dinas yang masih melekat dan barang pribadi yang ditemukan di saku celananya. Sebuah kabar duka yang tak hanya mengguncang keluarga, tetapi juga institusi tempat ia mengabdi.

Ironisnya, penyelidikan justru menyeret nama orang terdekatnya yakni sang istri, Briptu Rizka Sintiyani, yang juga anggota kepolisian.

Sejak kasus ini mencuat, perhatian publik tertuju pada dua hal yakni kronologi kematian yang penuh misteri dan fakta bahwa istri korban ditetapkan sebagai tersangka. Dalam tubuh Polri sendiri, kasus ini memicu pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin tragedi sedemikian kelam terjadi dalam lingkaran keluarga aparat penegak hukum?

Penyidik Polres Lombok Barat dan Polda NTB bergerak cepat. Lebih dari 50 saksi diperiksa secara maraton. Bukti-bukti digital dari ponsel Esco dan istrinya diekstrak.

Hasil autopsi dari RS Bhayangkara mengungkap adanya luka akibat hantaman benda tumpul serta indikasi jeratan di leher. Rangkaian bukti inilah yang kemudian menguatkan dugaan pembunuhan, hingga Briptu RS resmi ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, masyarakat tidak sekadar menunggu hasil penyidikan. Kasus ini menjadi bahan perbincangan luas. jika di dalam rumah tangga aparat saja bisa terjadi tragedi fatal, bagaimana nasib warga biasa yang berharap perlindungan dari kepolisian?

Di permukaan, kasus ini mungkin tampak seperti persoalan rumah tangga yang berakhir tragis. Namun, jika ditelaah lebih dalam, tragedi Esco memperlihatkan rapuhnya pagar moral yang seharusnya melindungi kehidupan pribadi aparat.

Polisi kerap dituntut menjadi pelindung masyarakat, pengayom hukum, sekaligus simbol ketertiban. Namun, di balik seragam, mereka tetap manusia biasa, dengan segala kerentanan emosional dan konflik rumah tangga. Ketika konflik itu tak terselesaikan dengan sehat, risiko besar mengintai, bukan hanya bagi keluarga, tapi juga bagi wibawa institusi.

Fenomena kekerasan domestik di kalangan aparat bukan cerita baru. Beberapa tahun lalu, kasus serupa juga pernah mencuat di daerah lain. Namun, jarang ada refleksi institusional yang mendalam tentang bagaimana masalah pribadi bisa berdampak ke ranah publik.

Moral

Tragedi ini memberi pesan keras bahwa seragam bukan benteng moral. Latihan fisik, disiplin barak, atau kewenangan hukum tidak otomatis membuat seorang aparat kebal dari rapuhnya relasi pribadi. Justru, dengan tekanan kerja yang tinggi, risiko stres emosional lebih besar.

Dalam kasus Esco, masyarakat menilai luka bukan hanya pada tubuh korban, tetapi juga pada citra kepolisian. Bagaimana publik bisa percaya jika aparat penegak hukum sendiri gagal melindungi kehidupan rumah tangganya?

Kasus ini seakan menegaskan perlunya dimensi kemanusiaan dalam pembinaan kepolisian. Aparat bukan hanya mesin hukum, tapi manusia dengan keluarga, perasaan, dan persoalan batin. Tanpa perhatian serius, masalah pribadi bisa menjelma menjadi tragedi publik.

Berangkat dari kasus Brigadir Esco, ada setidaknya tiga pelajaran penting yang layak dijadikan pijakan bagi kepolisian dalam memperkuat institusinya.

Pertama, kesehatan mental harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Tekanan kerja yang tinggi, jam dinas panjang, risiko di lapangan, hingga stigma sosial seringkali menumpuk menjadi beban psikis bagi aparat.

Sayangnya, layanan konseling dan dukungan psikologis di tubuh kepolisian masih minim. Situasi ini menegaskan perlunya dibentuk unit khusus yang fokus pada kesehatan mental, tidak hanya bagi personel, tetapi juga keluarganya.

Kedua, manajemen konflik rumah tangga perlu dirancang secara lebih serius. Program pembinaan keluarga aparat seharusnya tidak berhenti pada seminar formalitas, melainkan menyentuh kebutuhan nyata. Misalnya, melalui hotline rahasia untuk konsultasi, mekanisme mediasi internal yang responsif, hingga perlindungan konkret bagi pasangan yang rentan mengalami kekerasan. Pendekatan ini akan membantu mencegah konflik domestik meluas dan berdampak pada kinerja maupun integritas aparat.

Ketiga, transparansi penegakan hukum menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan publik. Masyarakat sudah terlalu sering meragukan istilah “pemeriksaan internal” karena kerap dianggap tertutup.

Dalam kasus ini, langkah kepolisian menghadirkan pemeriksaan saksi secara masif dan gelar perkara yang terbuka patut diapresiasi. Transparansi semacam ini bukan hanya soal prosedur, melainkan modal penting untuk merawat legitimasi dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

Kematian Brigadir Esco tidak berdiri sendiri. Publik masih mengingat kasus-kasus yang mencoreng wajah Polri, dari kekerasan antaranggota hingga kasus besar seperti pembunuhan Brigadir J di Jakarta. Benang merah dari semua kasus itu adalah pentingnya membangun budaya integritas dan pengawasan yang ketat.

Negara-negara lain pun menghadapi problem serupa. Di Amerika Serikat, kasus domestic violence oleh polisi mendapat perhatian serius karena dianggap mencederai kepercayaan publik. Di sana, beberapa kepolisian menerapkan program early warning system–semacam alarm internal untuk mendeteksi aparat yang rentan melakukan kekerasan. Indonesia bisa belajar dari praktik ini.

Pelajaran

Kasus Brigadir Esco adalah luka yang dalam, baik bagi keluarga, masyarakat, maupun Polri. Namun, luka juga bisa menjadi pelajaran.

Polri perlu menjadikan tragedi ini sebagai momentum evaluasi yakni bagaimana sistem internal bisa lebih peka terhadap potensi konflik domestik; bagaimana membangun ruang aman bagi aparat untuk bercerita tentang masalah pribadinya tanpa takut stigma, bagaimana menegakkan hukum tanpa pandang bulu, bahkan jika pelaku adalah anggota sendiri.

Kepercayaan publik tidak bisa dibangun dengan slogan, melainkan dengan konsistensi sikap. Transparansi penanganan kasus Esco adalah ujian nyata. Jika Polri berhasil menuntaskan dengan adil, wibawa institusi bisa pulih. Tetapi jika sebaliknya, luka ini bisa semakin dalam.

Di balik tragedi ini, ada pesan moral yang tak boleh diabaikan yakni seragam hanyalah kain, bukan cermin sejati moralitas. Yang menentukan adalah manusia di dalamnya seperti pilihan sikap, cara menyelesaikan masalah, dan kesetiaan pada nilai kemanusiaan.

Brigadir Esco telah pergi, tetapi kisahnya meninggalkan pertanyaan besar bagi institusi yang ia cintai. Pertanyaanya, beranikah Polri menjadikan tragedi ini sebagai awal perubahan, bukan sekadar menambah daftar kelam?

Jawabannya ada pada konsistensi langkah ke depan. Karena seragam tidak hanya dilihat di jalan raya, tetapi juga dinilai dari bagaimana aparat menjaga keadilan, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri. (ANTARA)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Imam Wahyudiyanta


No More Posts Available.

No more pages to load.