Misteri Lakban dan Plastik: Antara Bunuh Diri atau Pembunuhan

oleh -467 Dilihat
LAKBAN scaled

Disclaimer: Artikel ini membahas kasus bunuh diri dengan tujuan edukatif dan forensik. Sekali tidak bermaksud mengagungkan, membenarkan, atau mendorong tindakan bunuh diri dalam bentuk apa pun. Jika Anda atau orang di sekitar Anda sedang berjuang dengan masalah kesehatan mental, segera cari bantuan profesional.

Bunuh diri sering dikaitkan dengan tindakan impulsif. Lompat dari jembatan/gedung, overdosis, atau menggantung diri. Tapi, di balik statistik yang sering muncul di laporan tahunan, ada kasus ekstrem yang membuat para penyidik forensik mengerutkan dahi. Salah satunya, bunuh diri dengan cara menutup saluran napas sendiri menggunakan lakban. Ya, lakban biasa yang mungkin dipakai untuk membungkus paket.

Terdengar mustahil? Di dunia nyata, dua pria pernah melakukannya. Dua kasus dari Italia dan Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa ketika seseorang sudah berada di titik terendah secara psikologis, batas-batas logika bisa ikut runtuh.

Italia, 2002: Pria, Mobil, dan Lakban Cokelat

Bari, sebuah provinsi di Italia selatan yang dikenal dengan pantai cantik dan pizza klasik, jadi saksi bisu dari kematian yang tak biasa. Seorang pria berusia 66 tahun ditemukan tewas di dalam mobilnya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan. Tidak ada jejak orang lain. Tapi, wajahnya atau kepalamya…dibungkus rapat oleh dua lapis lakban cokelat. Melingkar dari pipi ke pipi, menutup hidung dan mulut seperti segel.

Awalnya, penyidik mengira pembunuhan. Tapi, semuanya terlalu bersih. Barang-barang di mobil tertata rapi, tidak ada bekas pergulatan. Hasil autopsi menunjukkan tidak ada trauma fisik. Tim forensik akhirnya menyimpulkan bahwa pria tersebut meninggal karena smothering, kekurangan oksigen karena saluran napas sengaja ditutup. Dan, itu dilakukan sendiri.

Dokumen medis dari Journal of Forensic Sciences menyebut kasus ini sebagai contoh “bunuh diri yang tidak lazim tapi jelas disengaja.” Artinya, ini bukan tindakan impulsif. Ini adalah keputusan yang dipikirkan matang.

Sumber: Di Vella, G. et al. (2002). Unusual suicidal smothering by means of multiple loops of adhesive gummed tape. Journal of Forensic Sciences, 47(3).

New York, 2009: Dua Pria, Dua Apartemen, Satu Metode

Tujuh tahun setelah kejadian di Italia, polisi New York menghadapi dua kasus kematian yang hampir identik. Dua pria, satu berusia 47 tahun, satunya lagi 52 tahun, ditemukan tewas di apartemen masing-masing. Mulut dan hidung mereka tertutup duct tape alias lakban. Tidak ada tanda perkelahian. Tidak ada saksi. Awalnya, semua orang berpikir: ini pasti pembunuhan.

Tapi penyelidikan lebih lanjut membalikkan dugaan itu. CCTV menunjukkan mereka membeli sendiri duct tape tersebut. Catatan tulisan tangan menunjukkan niat bunuh diri. Otopsi tidak menemukan bukti kekerasan atau racun. Dalam satu kasus, pria tersebut mengidap skizofrenia; yang lainnya sedang menghadapi depresi berat.

Peneliti forensik deRoux dan Leffers mencatat bahwa ini adalah bukti kuat bahwa tindakan ekstrem bisa dilakukan secara mandiri, bahkan yang kelihatannya “tidak mungkin secara fisik.”

Sumber: deRoux, S. J. & Leffers, W. (2009). Asphyxiation by occlusion of nose and mouth by duct tape: two unusual suicides. Journal of Forensic Sciences, 54(1).

Kenapa Ini Penting?

Kasus-kasus ini bukan sekadar keanehan forensik. Mereka membuka diskusi tentang betapa dalamnya penderitaan yang tak terlihat. Bunuh diri tidak selalu tampil dalam bentuk yang kita kenali. Kadang, orang menyusun rencana yang begitu rapi dan ekstrem hingga dunia luar tak akan pernah menyangka itu dilakukan sendiri.

Dalam ilmu forensik, ini jadi pengingat bahwa tidak semua yang tampak seperti pembunuhan memang pembunuhan. Tapi dalam ilmu kesehatan mental, ini jadi alarm keras bahwa dukungan psikologis bukan sekadar pilihan—tapi kebutuhan hidup.

Jika ada seseorang yang kamu kenal, sedang merasa kehilangan harapan, tolong segera cari bantuan. Jangan tunggu besok. Ingat! Kamu tidak sendirian. Begitu banya orang yang siap mendengarkan, tanpa menghakimi. Atau cukup bicara ke teman yang dipercaya. Kadang itu awal dari perubahan besar. Saat hidup terasa terlalu berat, itu bukan berarti kamu lemah. Itu berarti kamu manusia. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Editor: Supardi


No More Posts Available.

No more pages to load.