Selain pejabat yang duduk lama di satu posisi, ada juga pejabat yang terlalu lama di posisinya. Celetukan jawatimuran: Koyok gak onok wong maneh ae. Maksudnya: Seperti tidak ada orang lain saja.
Mengapa orang duduk lama, tentu ada alasannya. Bisa karena dukungan politik, rekam jejak yang baik, atau kemampuan untuk menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak.
Lazimnya, masa jabatan yang terlalu lama juga dapat menimbulkan kekhawatiran terkait dengan regenerasi kepemimpinan dan potensi stagnasi dalam pengambilan kebijakan.
Faktanya, jabatan yang terlalu lama juga dapat meningkatkan risiko penyelewengan kekuasaan dan korupsi, sehingga perlu adanya mekanisme pengawasan yang efektif.
Meski tak bisa digeneralisasi, bahkan orang pintar bisa terlihat “bodoh” atau tidak relevan jika terlalu lama di posisi yang sama. Terutama jika orangnya berhenti belajar, menolak perubahan, atau terjebak dalam zona nyaman.
Orang pintar bisa “terlihat bodoh” setelah kehilangan daya adaptasinya. Apalagi jika ilmu dan keterampilan yang usang terus dipertahankan.
Mengabaikan teknologi, pasar, dan cara kerja yang terus berubah. Maksudnya, jika tidak memperbarui pengetahuannya, kepintaran jadi tidak relevan.
Ada pula jebakan mental model lama yang berujung kekakuan berpikir. Memang, orang pintar sering sukses karena formula tertentu. Namun orang yang terlalu lama di posisi yang sama, akan memaksakan cara lama. Padahal masalahnya baru.
Tak jarang kita temui pejabat tinggi yang menganggap dirinya paling tahu. Pengalaman keberhasilannya telah membuatnya mengabaikan masukan orang lain atau tren baru. Alih-alih menerima kritik. Ini agaknya yang disebut sebagai pakar yang tidak bisa melihat di luar keahliannya.
Agar tidak jatuh ke dalam jebakan ini, mau tak mau lakukan rotasi jabatan, proyek lintas tim, atau mentor orang lain. Tentu saja mesti terbuka pada perspektif muda. Generasi baru sering membawa ide segar.
Ketinggalan Zaman
Sejarah mencatat beberapa contoh orang pintar yang dianggap “ketinggalan zaman” karena terlalu lama berada dalam jabatan yang sama atau gagal beradaptasi dengan perubahan.
J. Edgar Hoover adalah Direktur FBI, 1924–1972. Hoover adalah direktur FBI selama 48 tahun, membangun lembaga tersebut menjadi sangat kuat. Ia disebut “ketinggalan zaman” setelah terjebak dalam pola pikir era Perang Dingin, menggunakan taktik pengintaian dan tekanan yang semakin dianggap melanggar hak sipil.
Ia menolak reformasi, seperti memprioritaskan kejahatan terorganisir atau hak-hak sipil, karena fokusnya pada ancaman komunisme. Gaya kepemimpinannya otoriter dan tidak transparan, tidak sesuai dengan tuntutan demokrasi modern.
Robert McNamara (Menteri Pertahanan AS, 1961–1968), adalah jenius analitis yang membawa sistem manajemen modern ke Pentagon. Terlalu percaya pada data dan logika perang (Vietnam), mengabaikan faktor politik, budaya, dan psikologis. Gagal memahami bahwa perang Vietnam tidak bisa dimenangkan dengan pendekatan konvensional.
Orang-orang ini cerdas, tapi kegagalan mereka beradaptasi membuat mereka “ketinggalan zaman”. Kepintaran bukan jaminan sukses selamanya. Dan, yang paling berbahaya bukanlah yang bodoh, tapi yang pintar tapi berhenti belajar.
Dalam kondisi negara Indonesia remang-remang (untuk tak menyebutnya gelap), kita butuh pejabat yang fokus pada solusi, bukan pada masalah.
Rakyat yang sedang capek berat janganlah disuguhi pemimpin yang sambat pada rakyatnya karena tekornya APBN. Tapi pemimpin yang menyodorkan pemecahan masalah. Setidaknya yang bertanya pada rakyat bagaimana kita bisa memperbaikinya?
Pemimpin yang tidak hanya kreatif dan inovatif, tetapi juga mampu menciptakan budaya inovasi dalam organisasinya.
Tapi lebih dari itu, ia mengajarkan satu hal penting: kerja manusia terlalu berharga untuk diserahkan pada kebiasaan lama. Ia harus dipikirkan, dirancang.
Kata orang di Poskamling: “Kalau cuma menaikkan pajak, istri saya juga tahu!”
Gaya Komunikasi
Kita baru memiliki Menteri Kuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa.
Edhy Aruman, wartawan senior menulis dalam artikelnya ‘Pura-pura Gaya’: Seorang Menteri Keuangan bukan hanya pengelola anggaran, ia juga wajah yang membawa pesan ekonomi ke publik.
Di balik grafik pertumbuhan dan angka inflasi, ada gaya komunikasi yang membentuk persepsi publik: apakah negara ini aman, apakah kebijakan kredibel, apakah pemimpinnya bisa dipercaya.
Saat pandemi COVID-19 melanda pada 2020, Menkeu Sri Mulyani tampil di hadapan publik dengan wajah serius, data lengkap, dan narasi yang hati-hati.
Ia menjelaskan defisit APBN yang membengkak hingga di atas 6 persen, sebuah angka yang menakutkan jika keluar dari mulut pejabat yang salah. Tetapi ia membingkai narasi itu dengan pesan moral: ini soal keberanian negara hadir, soal solidaritas, dan soal menjaga rakyat agar tidak jatuh lebih dalam.
Dalam setiap konferensi pers, ia tidak hanya menampilkan angka, tetapi juga menekankan urgensi kebijakan dengan bahasa tanggung jawab.
Dengan itu, ia membangun kepercayaan bahwa negara memang tahu apa yang sedang dilakukan. Investor global menilai ucapan Sri Mulyani sebagai jaminan stabilitas fiskal.
Menkeu Purbaya dalam forum publik menanggapi kritik Rocky Gerung dengan kalimat bernada jenaka: “Pak Rocky mungkin sedikit belajar ekonomi lagi, Pak.”
Ucapan itu disambut tawa audiens. Sebagian menganggapnya segar, menandakan pejabat berani menghadapi kritik. Tetapi sebagian lain menilai itu terlalu personal, seolah pejabat publik merendahkan lawannya dengan humor agresif.
Perbedaan gaya ini membawa dampak politik yang berbeda. Sri Mulyani, dengan gaya akademisnya, membangun reputasi sebagai teknokrat yang serius dan kredibel.
Publik mungkin menilai gaya ini kaku, tetapi justru karena kekakuan itu, kepercayaan pasar tetap terjaga. Barnlund (1989) menulis bahwa dalam budaya dengan orientasi hierarki tinggi, gaya komunikasi formal sering diasosiasikan dengan stabilitas.
Sementara itu, Purbaya tampil lebih cair. Ia menggunakan metafora “dua mesin pertumbuhan”—pemerintah dan swasta—untuk menjelaskan visi ekonominya. Publik awam bisa lebih mudah menangkap makna lewat perumpamaan ini.
Secara politik, gaya Sri Mulyani memperkuat posisinya sebagai figur stabil yang meyakinkan investor, lembaga internasional, dan masyarakat yang haus kepastian. Ia menjadi simbol kredibilitas fiskal Indonesia di mata dunia.
Purbaya adalah wajah spontanitas yang jenaka, dekat, tapi rentan menimbulkan perdebatan. Kedua gaya ini sah, tetapi dampaknya berbeda. Sri Mulyani memperkuat kepercayaan publik dengan kredibilitas. Purbaya mencoba membangun kedekatan, tapi harus hati-hati agar humor dan spontanitas tidak justru meruntuhkan kepercayaan yang sedang dibangun.(*)







