OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)
PALU godam itu akhirnya jatuh. Bagi para pecinta bola di republik ini, hari itu terasa seperti hari patah hati massal yang terorganisir. Kekalahan 2-3 dari Arab Saudi, disusul takluk 0-1 dari Irak di babak krusial Kualifikasi Piala Dunia 2026, adalah titik didih emosi yang sudah lama membara. Rasa kecewa? Ya, jangan ditanya. Mungkin level kecewanya sudah setara dengan mendapati saldo di ATM setelah tanggal 25. TIpis sekali. Kita semua sama. Hati ini remuk redam melihat sayap Garuda harus turun paksa sebelum mencapai ketinggian impian.
Kita telah bermimpi tentang suara lagu kebangsaan “Indonesia Raya” bergema di stadion venue Piala Dunia. Sebuah bayangan yang sangat indah, sampai-sampai kita lupa bahwa stadion itu bukan cuma didatangi, tapi harus ditaklukkan!
Namun, di tengah awan mendung kekecewaan itu, saya mungkin bagian dari barisan aneh yang diam-diam menaruh sedikit rasa syukur yang tersembunyi. Lho, kok bersyukur? Begini logika sederhananya. Kalaupun, katakanlah, Timnas berhasil menang tipis melawan Irak, dengan gol indah di menit akhir hasil blunder kiper lawan yang mungkin sedang ter distracted oleh lalat, kebahagiaan itu pasti akan terasa singkat. Setelahnya, apa yang akan terjadi? Masa dredeg (cemas) yang lebih panjang bukan?
Kita akan lolos ke putaran berikutnya, di mana lawan-lawan ibarat monster Level 99 sementara Timnas kita baru level 35 yang baru saja mendapatkan cheat sekali pakai. Jantung ini akan dipaksa berdisko non-stop selama berbulan-bulan, menanti jadwal pertandingan, bersiap untuk dihajar tim-tim raksasa yang level permainannya ibarat Wi-Fi super kencang, sementara kita masih pakai modem dial-up.
”Siap kecewa lagi?” Ya, tentu. Dan kali ini, kecewanya akan mungkin jauh lebih sakit, lebih memalukan. Ibarat sudah naik pelaminan, sudah berpose, lalu baru sadar: salah pasangan!
Maka, kekalahan yang datang lebih cepat, seperti yang terjadi saat ini, adalah sebuah anugerah terselubung. Ada hikmah. Masa dredeg jadi lebih pendek. Luka berdarah, tapi cepat di-plester. Kita tidak perlu berlama-lama menjadi santapan pecundang di hadapan tim-tim yang secara sistem dan kualitas memang masih jauh di atas kita. Sudah mapan. Bukan masalah skill saja, kadang masalah mental dan infrastruktur juga. Kalau kata meme: “Masih banyak yang perlu dibenahi, Bro!”
Ini saatnya untuk bercermin dan tahu diri. Keinginan agar kepak sayap Garuda terus terbang tinggi adalah fitrah. Kita ingin melihat bendera Merah Putih berkibar megah, menjejak di lapangan bersejarah. Tapi, pertanyaan reflektifnya adalah: sudah waktunya kah kita ke Piala Dunia dengan kondisi yang masih seperti sekarang?
Mari jujur. Lihat ke belakang, bagaimana kompetisi liga kita? Apakah sudah cukup profesional? Apakah pembinaan usia dini sudah merata dan terstruktur dari Sabang sampai Merauke, atau masih mengandalkan bakat alam yang muncul secara acak seperti jackpot lotre?
Lolos ke Piala Dunia hanya untuk menjadi lumbung gol—atau seperti yang kita takutkan, malah kelak dipecundangi dengan skor-skor yang akan diunggah di kanal YouTube dengan judul “Pembantaian Terburuk dalam Sejarah Piala Dunia”—hanya akan menjadi trauma baru bagi sepak bola nasional.
Kita akan pulang bukan dengan kepala tegak, melainkan dengan beban ejekan dan bahan meme internasional. Humor pahitnya: mungkin kita malah akan dikenal sebagai tim yang paling sering ganti kiper di tengah pertandingan.
Filosofi yang paling masuk akal saat ini adalah: mundur selangkah dan bersiap maju 100 langkah.
Kegagalan kali ini harus menjadi sebuah reset besar. Bukan hanya di level tim senior, tapi di seluruh piramida sepak bola Indonesia. Ini bukan tentang mencari kambing hitam. Apakah itu pelatih yang blunder, wasit yang “kurang sehat matanya,” atau rumput stadion yang “kurang menghayati’. Tetapi, tentang melihat big picture.
Pertama, Fokus pada Fondasi. Jika kita ingin membangun menara pencakar langit (baca: Timnas Level Dunia), kita harus punya fondasi yang kokoh. Ini berarti reformasi total di kompetisi usia muda. Klub-klub liga harus dipaksa memiliki akademi yang profesional, bukan hanya sebagai formalitas. Pemain muda perlu jam terbang yang berkualitas, bukan hanya latihan di lapangan seadanya sambil menghindari lubang genangan air.
Kedua, Profesionalisme Total. Ini mencakup PSSI, klub, dan bahkan suporter. Hilangkan segala macam intervensi politik dan kepentingan pribadi dari olahraga ini. PSSI harus fokus pada pengembangan, bukan pencitraan. Klub harus dijalankan seperti bisnis olahraga, bukan organisasi amal. Dan suporter? Mereka harus menjadi dukungan sejati, bukan hanya kelompok yang siap membakar emosi dan—kadang kala—kursi stadion. Boleh heboh, asal jangan rusuh, ya kan? Kalau kata orang tua: “Main bola itu harus sportif, jangan kayak rebutan remote TV pas final liga!”
Ketiga, Mentalitas Juara. Lolos Piala Asia, apalagi Piala Dunia, itu bukan hanya soal teknis, tapi mental. Para pemain harus memiliki mentalitas baja, tidak mudah tumbang hanya karena pressure atau wasit membuat keputusan kontroversial. Mentalitas ini dibangun dari kompetisi domestik yang keras dan berkualitas.
Masa depan sepak bola Indonesia secerah matahari di khatulistiwa. Hanya saja kita sering lupa membersihkan panel surya kita. Kekuatan utama kita adalah passion suporter dan jumlah penduduk yang tak terbatas. Dari 270 juta lebih rakyat, tidak mungkin kita tidak bisa menemukan 25 pemain yang bisa bersaing di level dunia.
Kita sudah melihat secercah harapan dari generasi pemain muda yang mulai bersinar, beberapa bahkan sudah merumput di Eropa. Mereka adalah investasi jangka panjang kita. Proyek Timnas ini, seperti yang disinggung oleh banyak pihak, memang bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk masa depan. Kegagalan ini adalah biaya pendidikan yang mahal, agar empat tahun dari sekarang, atau delapan tahun dari sekarang, kita benar-benar siap.
Ketika kita menjejakkan kaki di stadion venue Piala Dunia kelak, kita akan datang bukan sebagai pendatang baru yang canggung dan pasrah dipecundangi. Kita akan datang sebagai Garuda yang sayapnya sudah teruji badai, cakar-cakarnya tajam, dan tatapannya penuh keyakinan.
Saat itu tiba, kita akan mengenang kekalahan 2-3 dari Arab Saudi dan 0-1 dari Irak ini sebagai titik balik. Sebagai momen di mana kita memilih jalan yang lebih sulit, jalan yang membutuhkan kesabaran, namun menjanjikan kejayaan sejati.
Jadi, mari bersabar. Biarkan luka ini sembuh, sambil kita mulai menanam bibit-bibit emas yang akan kita panen di masa depan. Kalau kata orang bijak: “Jalan menuju Piala Dunia itu panjang dan berliku. Lebih baik kita siapkan bekal yang lengkap, jangan cuma modal nekat dan doa!”
Saatnya menyingsingkan lengan baju, dari PSSI hingga sekolah sepak bola terkecil. Indonesia, mari kita terbang lebih tinggi, namun kali ini, dengan fondasi yang jauh lebih membumi. Jadi, apakah tetap #KluivertOut dan #ErickOut? (*)
—
*) M. SHOLAHUDDIN, pegiat literasi Jawa Timur






