Pencerah, Jurnalisme Investigasi (1) 

oleh -1255 Dilihat
CAK SOL

OLEH: M. SHOLAHUDDIN *)

CAK SOL. Demikian kami biasa memanggilnya. Nama aslinya Solichin M. Awi. Dia salah seorang mentor luar biasa. Bukan hanya bagi saya. Namun, banyak wartawan lain. Dulu, kala di Jawa Pos. Bagaimana mencari, mengolah, dan menulis berita berkualitas. Terutama liputan-liputan investigatif. Yang Anda sudah tahu, soal jurnalisme investigasi itu kini tengah ramai diperbincangkan setelah muncul Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran.

Sang Mentor itu kini telah berpulang, Ahad (2/6) malam. Kembali ke Pemilik Keabadian. Sang Khalik. Semoga husnul khatimah. Begitu banyak, almarhum menularkan ilmunya. Begitu banyak pula catatan bersamanya. ‘’Cak Sol, mohon maaf sebesar-besarnya, saya sudah tidak mau lagi ditugaskan di Lamongan,’’ permintaan saya kepadanya melalui sambungan telepon malam itu. Saya pun menceritakan alasannya. Panjang. Dia tersenyum. Mengiyakan permintaan saya. Memaklumi.

Malam belum larut. Namun, lalu-lalang kendaraan sudah tidak begitu ramai. Di sebuah jalanan Kota Lamongan. Maklum, kota kecil. Tak seperti Jakarta atau Surabaya. Kota yang seolah tidak pernah tidur. Kota pemberi kabar akan kesibukan penghuninya.

Malam itu, saya dan seorang rekan wartawan sedang ada di kantor sebuah media. Radar Bojonegoro (grup Jawa Pos). Namanya, Imron Rosyidi. Saya dan banyak teman biasa memanggilnya Kapten. Bertahun-tahun bersahabat dengannya, saya tidak pernah bertanya ikhwal sebutan Kapten tersebut. Toh, buat apa juga. Kami berdua duduk. Menatap layar monitor. Bersiap untuk menuliskan berita. Untuk kami kirimkan ke redaktur.

Belakangan, saya mengetahui, Kapten tidak lagi bekerja di Radar Bojonegoro. Sudah berpindah ke media lain. NgopiBareng.id. Pun demikian dengan saya. Berpindah tugas. Bagian ikhtiar menebar manfaat di tempat lain.

Handphone mendadak berbunyi. Nada deringnya jadul. Monoponik. Tidak seperti sekarang. Dengan bunyi-bunyian musik dan lagu. Suara itu memecah konsentrasi. Membelah hening ruang redaksi. Saya pun cepat-cepat mengangkatnya. Suara di ujung telepon itu sudah tidak asing. Bagi saya, yang sudah beberapa pekan terakhir hijrah tugas sementara di Lamongan. Tempat tugas aslinya di Gresik.

Yang menelepon itu Kasatreskrim Polres Lamongan. Saat itu. Saya tidak sebut namanya. Yang jelas, dulu masih berpangkat melati. Kini, sudah menempel bintang di pundak baju dinasnya. Jenderal bintang satu. Brigjen. Tugasnya, di satuan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Dia bertanya saya sedang berada di mana. Saya pun spontan memberitahu bahwa sedang di kantor Radar Bojonegoro. Hanya berdua bersama Kapten.

Dari ujung telepon, Kasatreskrim menyampaikan akan datang. Mengajak saya makan malam. Tapi, sendiri saja. Tidak dengan Kapten. Saya pun mulai curiga. Lalu, memilih menolak rayuan itu dengan nada halus. Diplomatis. Biar tidak ada ketersinggungan. Meski, sebetulnya saya belum makan. ‘’Terima kasih. Tapi, maaf beribu maaf, saya sudah makan malam Ndan (begitu saya memanggilnya, Red). Lagian, ini saya sedang deadline,’’ kataku.

Kata ’’deadline’’ biasanya ampuh bagi seorang wartawan. Termasuk untuk menolak ajakan siapapun. Namun, tidak demikian dengan malam itu. Kasatreskrim tetap akan datang. Tidak lagi mengajak makan malam. Alasannya berganti main-main saja. Saya pun tidak kuasa menolaknya. Lalu, menyampaikan perihal itu ke Kapten. Tidak berselang lama, sebuah mobil Kijang sudah berada di depan kantor. Kami sudah mengetahui yang datang adalah Kasatreskrim.

Kapten pun menyambut dengan ramah. Mengajaknya ngobrol di ruang tamu. Saya memilih menyelesaikan tugas. Menuntaskan berita yang mesti segera dikirimkan ke Surabaya. Apalagi, sudah berkali-kali ditelepon redaktur. Begitu selesai mengirimkan berita, saya pun bergabung. Ikut menemui dan ngobrol.

‘’Wes mari toh? (Sudah selesai kan, Red),’’ tanya Kasatreskrim. Saya pun mengiyakan. Dia kembali mengajak saya makan malam. Keluar. Tentu, tidak ada alasan lagi menggunakan kata sakti ‘’deadline’’ tersebut. ‘’Mas Imron biar di sini. Lagian, dia sudah biasa bersama saya. Saya ingin mengajak kamu saja karena belum pernah, saudara baru,’’ rayunya. Tidak ada pilihan lain, selain menganggukkan kepala. Kemudian, kami pun bergegas masuk ke Kijang itu.

Di Kijang itu saya hanya berdua. ‘’Hud (begitu dia memanggilnya, Red). Kalau nanti ada yang bertanya-tanya ke kamu, sudah kamu diam saja. Tidak perlu ngomong apapun. Bilang saja, minta maaf. Sudah begitu saja. Maaf, maaf, maaf begitu terus. Oke?’’ ujarnya.

Saya berupaya menilisik. Mencari tahu. Sebetulnya ada apa? Saya memang salah apa? Minta maaf kepada siapa? Banyak pertanyaan terus bergelayut di benak. Berkecamuk. Seperti pasangan muda yang hendak dijodohkan dan kali pertama dipertemukan. Kasatreskrim memilih diam seribu bahasa. Tidak memberitahukan. Fokus di belakang kemudi. Menyetir. Membelah jalanan yang makin sepi. Suasana di dalam Kijang menjadi sunyi sesaat.

Semula membayangkan bakal santap malam dengan menu enak. Sate. Atau, paling tidak Soto Lamongan. Yang khas dan lezat itu. Perut lapar berubah kenyang. Bayang-bayang apa yang akan terjadi beberapa saat ke depan, terus menghantui. Gundah gulana. Di tengah kegalauan itu, mobil Kijang masuk ke Mapolres Lamongan. Sontak, saya pun memprotes.  ‘’Lho, gak jadi makan Ndan?’’ tanyaku. Kasaterkrim hanya tersenyum kecil. Dingin. Tanpa kata. Ekspresinya datar.

Turun dari Kijang, Kasatrekrim merangkul pundak saya. Seperti seorang adik-kakak. Berjalan menuju ke sebuah ruangan di Mapolres. Ruangan itu tidak luas. Hanya berukuran 3×3 meter. Ada kursi dan meja kayu serta rak-rak. Saya pun diminta untuk duduk. Diam menunggu. ‘’Pokoknya, ingat pesan saya tadi, kalau kamu menganggap saya saudara,’’ ujar Kasatreskrim sebelum keluar meninggalkan saya sendirian. Jantung pun berdebar. Membayangkan bakal ada sesuatu yang tidak mengenakkan.

Di dalam kesendirian itu, saya memilih menghubungi Kapten melalui telepon. Saya beritahukan bahwa malam ini sedang berada di Mapolres Lamongan. Jadi, kalau ada apa-apa, Kapten bisa menyampaikan informasi itu. Baik kepada redaktur maupun keluarga. Kapten pun menjawabnya singkat: Siap!

Belum selesai bicara, pintu ruangan terbuka. Sesosok laki-laki muda, masuk ke ruangan. Braaak! Sepucuk pistol dilempar ke atas meja. Depan saya. Satu kursi di sebelah saya ditendang. Jatuh. Saya terus diam. Membisu. Kaku. Namun, tetap duduk di kursi. ‘’Anda wartawan?’’ tanyanya. Saya mengangguk dengan pelan.

Lelaki muda itu lantas mengambil selembar koran dari sebuah rak: Jawa Pos. Lalu, membukanya. Menunjukkan sebuah berita di halaman depan. Bukan headline. Cuma dua kolom. Judulnya: Ali Imron Melarikan Diri ke Kalimantan Timur.

‘’Ini Anda yang menulisnya?’’ tanyanya lagi dengan raut muka tampak merah. Saya pun mengangguk lagi. ‘’Kurang aj*r Anda. Ini buronan negara. Tapi, Anda telah mengungkapnya. Tidak sedikit waktu, biaya, dan tenaga untuk memburunya. Anda enak saja menulisnya. Kalau sampai melarikan diri, Anda mau bertanggung jawab? Kami tidak melarang-larang, tapi kalau sudah tertangkap. Kamu goreng-goreng, tidak ada masalah,’’ katanya dengan terus nada tinggi.

Saya pun teringat pesan Kasatreskrim. Satu kata saja: Maaf. ‘’Saya meminta maaf kalau salah,’’ jawabku berkali-kali sambil kepala sedikit menunduk. ‘’Maaf…maaf… Anda enak saja meminta maaf, sementara petugas di lapangan mati-matian memburunya. Katakan, dari mana sumber Anda ini?’’ tanyanya berulang. Saya memilih untuk tidak mengatakannya. Braakk! Lelaki itu menggebrakkan tangan kanannya ke meja. Cukup keras. Kaki saya sedikit gemetar. Saya ingat pesan ibu, lantas banyak membaca Salawat dalam hati.

Saya bergeming. Tidak mengatakannya siapa sumber itu. Sebab, memang tidak ada yang memberitahu. Bukan dari Kapolres atau Kasatreskrim. Kami mengetahuinya sendiri.

Ceritanya, siang itu sedang selesai pemeriksaan. Polisi meminta kerangan sejumlah orang yang kemungkinan mengetahui jejak pelarian Ali Imron. Anda sudah tahu. Ali Imron adalah adik dari Amrozi, salah seorang terpidana bom Bali waktu itu. Warga Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan. Setelah Amrozi dkk berhasil ditangkap, nama Ali Imron menjadi salah seorang target buruan petugas selanjutnya.

Kami mengintip pembuatan BAP (berita acara pemeriksaan) di sebuah ruang penyidik Polres Lamongan itu. Saya mendengarkannya dari luar. Menempelkan ujung telinga dekat krepyak jendela kaca. Dari situ, diketahui bahwa Ali Imron kemungkinan besar melarikan diri ke Kalimantan Timur. Termasuk kronologi pelariannya. Cukup lengkap. Saya pun menuliskan informasi itu menjadi berita. Eksklusif. Tidak ada media lain yang mendapatkannya.

Nah, berita itulah yang rupanya menjadi pemicu saya ’’diadili’’ sesosok lelaki itu, yang saya tidak mengenalnya. Tapi, saya menduga anggota Densus 88 Mabes Polri. Bukan anggota Polres Lamongan.

Di ruang itu, saya tetap tidak banyak bicara. Hanya satu kata kunci: Maaf.

Saya menatap jam di dinding ruangan. Ternyata, sudah hampir satu jam berada di ruang ’’interograsi’’ tersebut. Kendati terus didesak untuk memberikan siapa sumber informasi itu, saya tetap memilih diam. Kalaupun tahu, saya ingat ketika materi pendidikan kode etik jurnalistik tentang hak tolak. Kalau pun terjadi sesuatu, saya memilih pasrah. Sudahlah, yang terjadi, terjadilah… (*/bersambung)


*) M. SHOLAHUDDIN, wartawan Jawa Pos 1999-2023

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.