KabarBaik.co – Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Keluarga Berencana (Dinsos PPKB) Banyuwangi akan menindaklanjuti kesepakatan restorative justice antara pemerintah daerah dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur, Kamis (9/10).
Salah satu poin yang menjadi bahasan kesepakatan adalah pemberdayaaan sosial agar orang yang berhadapan hukum tidak mengulangi kesalahannya.
“Tentu setelah ini kami akan duduk dengan APH maupun dengan dinas-dinas terkait yang memiliki banyak program pemberdayaan untuk membahas kesepakatan ini,” kata Henik, Jumat (10/10).
Terkait pemberdayaan, kata Henik, Banyuwangi memiliki banyak program sosial. Seperti di Diskopumdag, Dispertapa, atau Dispora.
Program yang tersedia seperti bantuan alat usaha, pelatihan kerja, bantuan modal usaha, dan berbagai bantuan sosial lainnya disesuaikan dengan kemampuan dari masing-masing individu.
Selain dari sisi pemberdayaan, yang perlu diselaraskan adalah dari sisi hukum kasus-kasus apa saja yang layak diberikan restorative justice. Karena tidak semua kasus layak mendapatkan restorative justice apalagi hal-hal yang menyangkut kejahatan seksual pada anak.
“Makanya nanti tim kami dari P2TP2A dan Peksos akan dulu supaya bisa selaras,” terangnya.
Untuk mempermudah pemahaman masyarakat soal hukum, kata Henik, pemerintah daerah punya Pos Bantuan Hukum (Posbankum) yang bisa diakses di setiap desa untuk menangani perkara diluar peradilan.
Selain itu, sejumlah kepala desa di Banyuwangi saat ini tengah dilatih menjadi peace maker. Ada juga kepala desa yang mengikuti pelatihan paralegal yang diselenggarakan oleh Muslimat se-Jawa Timur.
“Harapannya, para kepala desa dapat menjadi garda terdepan dalam memberikan pendampingan hukum dasar kepada warga, terutama dalam menyelesaikan persoalan sosial di tingkat desa secara bijak dan berkeadilan. Pun juga menguatkan kesepekatan restorative jusctice yang ada,” tegasnya.
Restorative justice (keadilan restoratif) merupakan pendekatan penyelesaian perkara pidana yang fokus pada pemulihan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat, bukan pada penegakan hukum.
Pendekatan ini melibatkan dialog dan mediasi untuk mencari penyelesaian yang adil, memberikan ruang bagi pelaku untuk memperbaiki diri dan korban untuk mendapatkan pemulihan, serta menekankan nilai musyawarah dan empati.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur, menyebut menyebut telah banyak kasus yang diselesaikan dengan Restorative Justice selama ini, tidak ada pengulangan dari pelaku.
Bupati Ipuk mengapresiasi kesepakatan ini. Menurutnya tidak semua perkara hukum harus ditetapkan dan ditindak secara penegakan hukum. “Tapi kita juga harus melihat kondisi sosial terhadap para pihak yang terlibat baik korban, pelaku, maupun keluarga korban dan pelaku,” kata Ipuk.
Menurut Ipuk nantinya setelah proses Restorative Justice disepakati, Pemkab akan memberikan penguatan dengan program-program sosial. Ipuk mencontohkan misalnya terjadi kasus pencurian yang nilainya tidak besar, ternyata pelaku melakukan itu karena ada keluarganya yang sakit keras, sehingga terpaksa melakukan pencurian itu.
Apabila oleh aparat penegak hukum setelah dilakukan pemeriksaan ternyata penanganan perkara cukup dilakukan secara Restorative Justice, selanjutnya Pemkab Banyuwangi melakukan asesmen terkait kondisi sosial ekonomi pelaku maupun korban.
“Misalnya ternyata pelaku memang belum bekerja, bisa nantinya mendapat program bantuan usaha dan pendampingan. Selain itu dilihat kondisi keluarga yang sakit telah dicover BPJS dan sudah mendapat perawatan atau belum. Di sinilah peran intervensi pemerintah,” kata Ipuk.