KabarBaik.co – Wacana perubahan besar dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia kini sedang bergulir. DPR RI sedang menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji dan Umrah. Salah satu pasal yang menuai perdebatan adalah legalisasi umrah mandiri. Rencana ini, meski dianggap sebagai terobosan, mendapat penolakan keras dari asosiasi biro penyelenggara haji dan umrah (PPIU). Lalu, apa sebenarnya umrah mandiri itu dan mengapa memicu polemik?
Apa Itu Umrah Mandiri?
Selama ini, masyarakat Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah umrah harus menggunakan jasa biro perjalanan umrah resmi yang terdaftar di Kementerian Agama (Kemenag). Paket yang ditawarkan sudah mencakup semuanya, mulai dari tiket pesawat, visa, akomodasi, transportasi lokal, hingga pembimbing ibadah. Semua terangkum dalam satu paket perjalanan yang terorganisir.
Nah, umrah mandiri adalah kebalikannya. Seperti namanya, umrah ini memungkinkan jemaah untuk mengatur sendiri semua kebutuhannya. Jemaah bisa membeli tiket pesawat, memesan hotel, dan mengurus visa tanpa harus melalui perantara biro perjalanan. Mereka bebas menentukan tanggal keberangkatan, memilih maskapai, dan mencari penginapan sesuai selera dan anggaran. Dengan kata lain, jemaah bertindak sebagai “travel agent” bagi dirinya sendiri.
Konsep ini memungkinkan ibadah umrah menjadi lebih fleksibel dan, yang paling penting, berpotensi lebih murah. Dengan menghilangkan biaya jasa perantara, jemaah bisa memangkas pengeluaran cukup signifikan. Namun, kemandirian ini juga datang dengan risiko. Jemaah harus mengurus semua detail logistik sendirian, mulai dari dokumen, transportasi di Arab Saudi, hingga memastikan seluruh jadwal berjalan sesuai rencana.
Pro-Kontra RUU Umrah Mandiri
Pemerintah dan sebagian anggota dewan melihat umrah mandiri sebagai solusi untuk memberikan pilihan lebih luas kepada masyarakat. Dengan legalisasi ini, diharapkan tidak ada lagi monopoli atau praktik-praktik kurang sehat di kalangan biro perjalanan. Ini juga dianggap sejalan dengan semangat kemandirian dan transparansi.
Namun, kalangan PPIU dan berbagai asosiasi biro perjalanan keberatan. Mereka berpendapat, legalisasi umrah mandiri akan memicu persaingan tidak sehat dan berpotensi merugikan jemaah. Tanpa pengawasan biro resmi, risiko penipuan atau jemaah terlantar di Arab Saudi akan meningkat.
Siapa yang akan bertanggung jawab jika ada masalah dengan visa atau akomodasi? Siapa yang akan menolong jemaah jika mereka tersesat atau sakit? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi kekhawatiran utama. Mereka juga khawatir, jika umrah mandiri dilegalkan, banyak biro perjalanan kecil akan gulung tikar.
Praktik di Negara Lain
Jika menilik ke beberapa negara lain, praktik umrah mandiri sebenarnya bukan hal baru. Di beberapa negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris, umrah mandiri adalah hal yang lumrah. Jemaah dengan mudah bisa mengurus visa umrah secara elektronik (e-visa) yang dikeluarkan oleh pemerintah Arab Saudi. Setelah visa di tangan, mereka bebas untuk memesan tiket dan hotel sendiri melalui situs-situs perjalanan online.
Sistem di negara-negara ini didukung oleh kemudahan akses informasi dan teknologi. Pemerintah Arab Saudi juga memfasilitasi dengan layanan visa yang lebih modern dan mandiri. Alih-alih mengandalkan biro perjalanan, jemaah lebih banyak memanfaatkan aplikasi dan situs resmi untuk mengurus segala sesuatunya.
Hal serupa juga berlaku di beberapa negara tetangga, seperti Malaysia. Jemaah dari Malaysia, meskipun banyak yang menggunakan jasa travel, juga memiliki opsi untuk umrah mandiri. Sistem visa yang lebih mudah dan ketersediaan informasi yang transparan menjadi kunci keberhasilan praktik ini. Pemerintah setempat lebih fokus pada pengawasan dan regulasi, bukan memonopoli penyelenggaraan.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Tentu saja, legalisasi umrah mandiri membutuhkan persiapan yang matang. Diperlukan sistem yang kuat untuk mengawasi dan melindungi jemaah. Pemerintah harus memastikan bahwa proses pengurusan visa mandiri benar-benar mudah, dan ada mekanisme perlindungan jika terjadi masalah.
Pada akhirnya, RUU Haji dan Umrah ini menjadi babak baru dalam sejarah penyelenggaraan ibadah di Indonesia. Tantangannya adalah menemukan titik tengah antara modernisasi dan perlindungan jemaah. Apakah umrah mandiri akan menjadi solusi atau justru menambah masalah baru? Kita tunggu saja kelanjutan pembahasan RUU yang penuh dengan kontroversi ini. (*)