KabarBaik.co- Harapan keluarga Prada Lucky Chepril Saputra Namo runtuh hanya dua bulan setelah ia resmi mengenakan seragam loreng TNI-AD. Prajurit muda yang baru menapaki awal kariernya ini mengembuskan napas terakhir pada Rabu (6/8), di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Aeramo, Nusa Tenggara Timur, dengan tubuh penuh lebam, luka sayat, dan bekas sundutan rokok.
Berdasarkan informasi, peristiwa bermula pada 27 Juli 2025, saat Prada Lucky dipanggil ke Staf-1/Intel terkait dugaan penyimpangan seksual. Sehari kemudian, 28 Juli 2025, dia dilaporkan kabur dari barak dengan alasan izin ke kamar mandi. Pihak intel pun segera melakukan pencarian setelah ada yang melapor kejadian itu kepada Danki.
Lucky akhirnya ditemukan di rumah ibu asuhnya. Lalu, dibawa kembali ke kesatuan. Begitu kembali, Lucky dibawa ke Marshailing Area, kemudian diperiksa di kantor Staf Intel sekitar pukul 11.05 WITA. Dalam pemeriksaan tersebut, Lucky diduga mulai mengalami kekerasan fisik. Dia dipukuli dengan selang oleh sejumlah seniornya.
Menjelang tengah malam, pukul 23.30 WITA, Danyonif TP 834 memerintahkan agar Prada Lucky tidak lagi dianiaya. Namun, perintah itu tak menghentikan rangkaian kekerasan. Saat itu, Lucky ditempatkan di sel tahanan bersama Prada Ricard Junimton Bulan.
Nah, pada 30 Juli 2025, 01.30 WIB, keduanya kembali disiksa oleh empat anggota Batalyon TP 834/WM. Dua hari berselang atau 2 Agustus 2025, Lucky mulai muntah-muntah. Dugaan penyebabnya karena kekerasan fisik yang dialami selama beberapa hari belakangan. Korban kemudian dibawa ke Puskesmas Kota Danga, sementara Prada Ricard mengalami demam dan dipulangkan pada 3 Agustus.
Kondisi Lucky berbeda. Fisiknya semakin lemah hingga harus dirujuk ke RSUD Aeramo. Pada 4 Agustus, sempat ada tanda-tanda membaik, tetapi kondisinya kembali drop. Dua hari berselang, 6 Agustus 2025, Prada Lucky mengembuskan napas terakhirnya. Sebelum wafat, Lucky dikabarkan sempat melakukan video call kepada ibunya. Dalam percakapan itu, ia mengeluhkan bahwa dirinya dicambuk oleh Dansi—sebuah pengakuan yang kini menjadi bagian penting dalam dugaan penyiksaan sistematis ini.
Ternyata, ayah Prada Lucky juga seorang tentara. Yakni, Sersan Mayor Christian Namo. Dia menyatakan saat menyaksikan pemandangan jasad putranya, kondisinya sulit dilupakan. “Saya lihat sendiri ada luka-luka itu. Ada lebam di dada, perut, sampai punggung. Di kaki dan tangan ada seperti bekas sundutan rokok,” ujarnya kepada awak media.
Bagi Sersan Mayor Christian Namo, kehilangan sang buah hati ini bukan sekadar duka, melainkan juga amarah dan tuntutan. “Saya ingin agar negara hadir dan mengungkap pelaku penyebab kematian anak saya,” tegasnya, Jumat (8/8).
Namun, perjalanan mencari keadilan tak mulus. Dua rumah sakit di Kupang, RS Tentara dan RS Polri, disebut menolak melakukan autopsi terhadap jasad Lucky. Sementara itu, foto dan video yang beredar memperlihatkan kondisi tubuh sang prajurit yang memicu tanda tanya besar.
Sementara itu, Kodam IX/Udayana memastikan kasus tersebut tengah ditangani intensif. Kolonel Infanteri Candra, Kepala Penerangan Kodam IX/Udayana kepada wartawan menyatakan para personel yang diduga terlibat sudah ditahan, walaupun jumlah pastinya belum diungkap. Pemeriksaan dilakukan oleh Sub-Detasemen Polisi Militer Kupang. “Peristiwa ini menjadi perhatian serius bagi kami di Kodam IX/Udayana dan jajaran,” ujarnya.
Informasi yang dihimpun KabarBaik.co, Lucky baru masuk TNI awal tahun ini. Dia bertugas di Batalion Teritorial Pembangunan 834 Waka Nga Mere, Nagekeo. Satuan ini baru sebulan berada di lokasi untuk membantu pembangunan masyarakat setempat.
Dugaan penganiayaan yang menimpa Prada Lucky mengingatkan pada kasus serupa pada 2023. Saat itu, Prada MZR tewas seusai dianiaya enam seniornya di Batalion Zeni Tempur 4/TK. Peristiwa itu juga bermula dari dalih pendisiplinan fisik yang berujung maut.
Kini, publik menanti, apakah kematian Prada Lucky akan menjadi lembaran baru penegakan hukum di tubuh TNI, atau sekadar menambah daftar panjang catatan kelam ’’perpeloncoan’’ di intenal militer. Masyarakat tentu menunggu. Yang pasti, bagi pihak keluarga korban, jawabannya sederhana. Pelaku harus diungkap, dan nyawa korban tentu jangan sampai terlupakan begitu saja. (*)