Profesi Wartawan antara Impian, Harapan, dan Kematian di Ujung Algoritma 

oleh -140 Dilihat
IMG 20251011 WA0014
Jono Hartono

Oleh Jono Hartono 

“The medium is the message,” kata Herbert Marshall McLuhan (1964) puluhan tahun lalu, sebuah peringatan yang kini terbukti seperti nubuat.

Dulu, media hanyalah saluran penyampai pesan. Kini, media telah menjadi pencipta realitas itu sendiri. Dan di tengah perubahan itu, wartawan, sang pengendara kebenaran, kini justru menjadi penumpang yang terseret arus, kehilangan arah, kehilangan suara.

Profesi wartawan yang dulu diagungkan sebagai pilar keempat demokrasi, kini seperti bangunan tua yang nyaris roboh. Pondasinya digerogoti klik, view, dan rating. Pilar idealismenya digantikan mesin algoritma yang dingin dan tanpa empati.

Dalam lanskap digital hari ini, wartawan bukan lagi gatekeeper informasi, melainkan gatekeeper illusion, penjaga semu dari dunia yang direkayasa teknologi.

Dari Pena ke Jempol Lahirnya Generasi Wartawan Cepat Saji

Era keemasan jurnalisme adalah era ketika kebenaran butuh waktu. Wartawan harus riset, konfirmasi, dan menulis dengan kesadaran etika. Namun kini, logika media telah digantikan logika pasar, siapa cepat, dia menang.

Kebenaran tak lagi penting, yang penting lebih dulu tayang, lebih banyak dibagikan, lebih banyak iklan masuk. Wartawan masa kini bekerja bukan di bawah bimbingan redaktur, tapi di bawah tekanan traffic manager.

Kualitas tulisan diukur dari jumlah klik, bukan dari kedalaman analisis. “Konten” menjadi mantra baru, kata yang netral tapi penuh racun. Karena di balik kata itu, kebenaran telah diturunkan derajatnya menjadi sekadar materi konsumsi.

McLuhan sudah memperingatkan, ketika medium berubah, isi pesan juga berubah. Kini, bukan lagi manusia yang menguasai media, tapi media yang membentuk manusia, termasuk wartawan. Ponsel bukan lagi alat kerja, tapi tuan baru yang memerintahkan manusia menulis demi algoritma.

Kebenaran yang Tersingkir di Pabrik Konten

Ruang redaksi yang dulu penuh diskusi kini berubah menjadi pabrik konten. Di sana, wartawan dipacu layaknya buruh produksi, harus menghasilkan berita setiap jam, tanpa sempat merenung, tanpa sempat berpikir.
Berita bukan lagi laporan, ia adalah produk digital yang harus laku di pasaran.

Neil Postman dalam bukunya Amusing Ourselves to Death menulis: “Kita sedang menuju masyarakat yang mati bukan karena dilarang berpikir, tapi karena terlalu sibuk menghibur diri.”

Media massa telah menjadi panggung hiburan kolektif. Semua hal, dari politik hingga tragedi, diolah menjadi tontonan cepat yang menimbulkan sensasi.  Wartawan pun ikut menari di atas panggung itu, dengan skrip yang ditulis oleh tren, bukan oleh nurani. Dan di tengah gemuruh dunia digital, wartawan idealis yang masih menulis dengan hati seringkali tampak seperti relik sejarah.

Mereka dicemooh sebagai kuno, lambat, dan “tidak adaptif”. Padahal justru merekalah satu-satunya yang masih sadar bahwa berita bukan sekadar informasi, tapi tanggung jawab moral.

Ketika Berita Tak Lagi Realitas

Jean Baudrillard menyebut dunia modern sebagai simulacra (realitas palsu) yang meniru kenyataan, hingga batas antara fakta dan ilusi lenyap. Dan di situlah wartawan hari ini terjebak, menulis berita yang tampak nyata, tapi sebenarnya hanyalah bayangan dari bayangan.

Sebuah unggahan di media sosial bisa menjadi sumber berita nasional. Kebohongan bisa jadi kebenaran, asal cukup banyak yang membagikannya. Fakta dan opini kini berbaur seperti kopi instan, cepat, manis, tapi tak bergizi.

Wartawan yang dulu berperan sebagai penyaring realitas, kini justru menjadi bagian dari pabrik simulasi.

Ia menulis bukan untuk mengungkap, tapi untuk menyesuaikan diri. Ia memoles realitas agar sesuai dengan selera algoritma. Dan dalam proses itu, kebenaran menjadi korban pertama.

Kematian yang Tenang di Ujung Teknologi

Ironinya, kematian wartawan tidak terjadi secara dramatis. Tidak ada pembunuhan besar-besaran, tidak ada larangan menulis. Yang terjadi jauh lebih halus, wartawan mati perlahan dalam kenyamanan digital. Ia tetap menulis, tetap aktif, tapi tanpa jiwa.

Ia menulis untuk mesin pencari, bukan untuk manusia. Ia menulis agar dibaca oleh sistem, bukan oleh nurani. Ia menulis, tapi kehilangan alasan mengapa tulisan itu harus ada. Begitulah cara teknologi membunuh idealisme, bukan dengan peluru, tapi dengan kenyamanan algoritmik.

Perlawanan Wartawan di Era AI

Namun, seperti setiap zaman kelam, selalu ada yang menolak tunduk. Masih ada wartawan yang memilih tetap manusia di tengah lautan mesin. Mereka menulis tanpa sponsor, tanpa SEO, tanpa ketakutan akan “engagement” (keterlibatan langsung).
Mereka percaya bahwa tugas wartawan bukan memuaskan pasar, melainkan menyentuh akal sehat publik.

Mereka menulis di blog sederhana, di buletin kecil, di ruang sunyi internet yang tak viral tapi jujur. Dan di sanalah titik terang itu bersembunyi, di balik keheningan yang tak bisa dibaca mesin.

Sebab AI bisa meniru gaya, tetapi tidak bisa meniru empati. AI bisa menyalin logika, tetapi tidak bisa memahami penderitaan. AI bisa merangkai kata, tetapi tidak bisa menanggung konsekuensi moral dari sebuah kalimat.

Itulah batas terakhir yang memisahkan wartawan sejati dari algoritma nurani.

Akhiran

Profesi wartawan hari ini berdiri di persimpangan antara impian dan kepunahan. Antara idealisme yang kian menipis dan realitas digital yang menelan segalanya. Namun sejarah tak pernah berpihak pada mesin, melainkan pada manusia yang berani melawan dengan pikiran dan kata-kata.

Selama masih ada yang menulis bukan demi clickbait,selama masih ada yang bertanya meski dilarang, selama masih ada yang menolak tunduk pada tirani algoritma,
maka profesi wartawan belum mati, ia hanya bersembunyi, menunggu manusia sadar bahwa tanpa kebenaran, teknologi hanyalah kekacauan yang canggih.

Dan jika suatu hari mesin benar-benar mengambil alih semuanya, mungkin tulisan-tulisan terakhir wartawan itu akan dibaca seperti doa, sebuah catatan kecil dari masa ketika manusia masih berani berpikir, meragukan, dan menulis dengan hati.

*Penulis adalah praktisi media massa di Jakarta

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: Jono Hartono
Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.