KabarBaik.co — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gresik memastikan program seragam gratis bagi siswa SD dan SMP negeri maupun swasta tetap berlanjut pada tahun ajaran 2025/2026, meski sempat diwacanakan akan dihapus. Namun, kebijakan ini turut mengguncang para pelaku usaha seragam sekolah di Pasar Gresik.
Program seragam gratis itu menyasar ribuan siswa. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Pemkab Gresik mengalokasikan anggaran sebesar Rp 5,5 miliar dalam APBD 2025 untuk membagikan 21.444 stel seragam bagi siswa SD dan 15.378 stel untuk siswa SMP. Bentuknya berupa kain seragam putih-merah dan pramuka untuk SD, serta putih-biru dan pramuka untuk SMP.
Di balik kelanjutan program ini, para pedagang dan penjahit di pasar merasakan dampak terhadap usaha mereka. Salah satunya dirasakan oleh Nifa Finnur, pemilik toko seragam Ni’mah di Pasar Gresik. Ia menyebut penjualan seragam sekolah tahun ini anjlok hingga 80 persen dibanding sebelum pandemi.
“Pendapatan saat tahun ajaran baru dulu bisa sampai Rp 10-15 juta per hari. Sekarang sudah tidak sampai. Di bawah Rp 10 juta,” kata Nifa saat ditemui di tokonya, Kamis (17/7).
Ia menyebut, sejak pandemi Covid-19, tren belanja masyarakat memang menurun. Tapi kebijakan pembagian seragam gratis turut memperdalam lesunya pembelian seragam selolah dari tahun ke tahun.
Nifa pun mengalihkan sebagian usaha dengan menjual baju kerja seperti baju safety dan seragam guru secara online. “Awalnya ramai, saya jual lewat Facebook dengan sistem COD. Tapi sekarang juga mulai sepi,” ujarnya.
Hal yang sama dirasakan oleh para penjahit. Umi Zaini, pemilik toko jahit Restu Bunda di Pasar Gresik, menyebut jumlah pelanggan yang menjahitkan seragam menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
“Garapannya juga saya rasa ramai kemarin. Karena mungkin sudah banyak yang dikasih jadian seragam,” ucap Umi.
Menurut Umi, proses pengerjaan seragam sangat menuntut waktu dan kecepatan. “Kalau menjahit dari awal sampai pasang bet, satu stel Rp 200 ribu. Tapi kainnyakan datang mendadak, kadang hanya 10 hari sebelum sekolah dimulai. Jadi kami kuwalahan, banyak yang terpaksa saya tolak,” ungkapnya.
Dalam sehari, ia hanya sanggup menyelesaikan dua stel seragam. Ketika kain datang bersamaan dari berbagai sekolah, sejumlah penjahit terpaksa menolak pesanan karena keterbatasan waktu. “Kalau numpuk, tidak enak juga sama pelanggan. Kami tidak bisa terima semua,” pungkas Umi.(*)