Pulang Tanpa Genggaman: Catatan Cinta di Ujung Tanah Suci

oleh -614 Dilihat
MAKAM BAQI
Maqam Baqi Madinah, Jemaah haji yang meninggal di Madinah umumnya dimakamkan di tempat ini. (Foto Kemenag)

Madinah, Rabu dini hari itu dingin. Tapi ada dingin yang lebih menusuk dari angin gurun. Dingin kepergian, dingin kesepian, dingin kehilangan yang tak bisa dijemput kembali.

Rabu, 11 Juni 2025, seharusnya menjadi pagi penuh peluk bahagia bagi Sakiyah Imuk, 65. Wanita asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini bersama suaminya, Pasah Suki, 75, bersiap kembali ke tanah air setelah tuntas menunaikan ibadah haji yang panjang dan melelahkan.

Kloter LOP (Lombok) 01, rombongan yang selama ini menjadi keluarga sementara mereka di tanah haram, dijadwalkan terbang pukul 06.00 Waktu Arab Saudi (WAS) dari Bandara Pangeran Mohammad Bin Abdulaziz, Madinah. Namun, langit memiliki rencana lain. Takdir, sebagaimana biasa, datang tanpa mengetuk.

Saat perjalanan bus dari Kota Makkah menuju Madinah, fajar belum sepenuhnya membuka tirainya, Pasah Suki mengembuskan napas terakhir. Di antara desah zikir dan roda bus yang terus menggelinding, ajal datang seperti embusan angin padang pasir: sunyi, namun pasti.

Sakiyah, yang duduk di sampingnya, sempat memeluk tubuh suaminya yang mulai melemah. Ia tidak tahu bahwa pelukan itu akan menjadi yang terakhir. Pengantar cinta dalam senyap menuju keabadian.

Saat tiba di Paviliun 6 bandara Madinah, pukul 02.15 WAS, Sakiyah duduk sendiri. Tak seperti saat hendak berhaji ke Tanah Suci dari Bandara Lombok. Kala itu, ia masih ditemani sang suami. Yang tentu sudah bertahun-tahun mengarungi bahtera rumah tangga.

Sakiyan tampak mengenakan busana hitam. Berbeda dari jemaah lain yang telah bersiap pulang dengan batik dan kerudung putih. Di depannya teronggok dua koper. Satu miliknya, satu lagi milik suami. Dua tas paspor tergantung di lehernya. Satu miliknya, satu lagi milik suaminya yang kini telah menyatu dengan tanah Nabi.

Barangkali, tak ada yang lebih sunyi dari membawa koper milik orang yang tak lagi bisa pulang. “Ia sehat saat di Arafah,” tutur Sakiyah pelan kepada tim Media Center Haji (MCH) 2025. Matanya seolah menatap jauh. Bukan ke langit-langit bandara, tapi ke ruang kenangan yang tak bisa disentuh siapa pun.

Dari Arafah ke Mina, ia berkisah kondisi Pasah menurun. Batuk menyerangnya. Mungkin terasa sepele, tapi siapa tahu bahwa itu diam-diam menjadi jembatan menuju takdir. Pasah pun tak bisa melontar jumrah sendiri, dan harus diwakilkan. Tawaf dilakukan di atas kursi roda. Namun, roda pun tak bisa membawa manusia lari dari garis yang telah diguratkan langit. “Mungkin ini memang jalannya,” ujar Sakiyah, suaranya seperti desir pasir tersapu angin malam.

Sakiyah pun pulang sendiri. Bukan sekadar pulang ke tanah air, tapi pulang ke hidup yang telah berubah wujud. Rumah yang dulu dihuni dua bayang, kini tinggal satu. Tempat tidur yang dulu penuh percakapan malam, kini tinggal diam. Tangannya tak lagi digenggam. Suara suaminya tinggal gema di dalam dada.

Namun Sakiyah telah memilih menerima. Ia tidak melawan gelombang. Ia justru belajar menjadi perahu, berlayar dengan kehilangan sebagai layar dan doa sebagai kemudi. ’’Doakan suami saya, ya,” bisiknya. Sebuah permintaan kecil, tapi sarat makna.

Ya, kematian memang bukan akhir dari segalanya. Hanya akhir dari pertemuan di dunia. Bagi Sakiyah, Makkah, Arafah, Mina, dan Madinah seperti menjadi saksi sebuah cinta yang paripurna. Bukan cinta yang berakhir di pelaminan, tapi yang tetap setia sampai liang lahat.

Maka, ketika pesawat lepas landas pagi itu tanpa Pasah di dalamnya, sejatinya ia sudah lebih dulu terbang. Bukan ke Indonesia, melainkan ke langit yang lebih tinggi. Tempat di mana doa-doa Sakiyah dan anak-anaknya akan terus mengejarnya, menyelimuti tiap langkahnya dalam keabadian.

Dan Sakiyah? Ia pulang membawa cinta yang tidak mati. Sebab, cinta, seperti haji, adalah perjalanan panjang dan Pasah telah lebih dulu sampai di tujuan.

Jemaah Wafat Sudah Tembus 235 Jiwa

Pasah Suki adalah satu di antara jemaah haji Indonesia yang meninggal di Tanah Haram. Berdasarkan data Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) yang diakses pada Kamis (12/6) pukul 09.30 WIB, total sudah sebanyak 235 jiwa jemaah Indonesia tahun 2025 yang meninggal dunia.

Jumlah kematian jemaah ini mengalami peningkatan sebanyak 85 orang sejak 4 Juni 2025, atau memasuki rangkaian puncak haji 1446 H. Pada 5 Juni atau saat wukuf di Arafah, jumlah jemaah wafat mencapai 12 orang. Memasuki Hari Raya Idul Adha atau 6 Juni, angka kematian naik menjadi 13 orang. Sehari kemudian, atau 7 Juni, bertepatan prosesi lontar jumrah di Mana, angka kematian menurun menjadi 8 orang.

Pada 8 Juni 2025, jumlah jemaah haji Indonesia yang meninggal naik lagi menjadi 15 orang. Lalu, saat hari tasyrik terakhir atau 9 Juni, angka kematian sebanyak 14 orang. Dan, 10 Juni, angka kematian menjadi yang tertinggi sepanjang pelaksanaan haji tahun ini. Yakni, mencapai 16 orang.

Masih mengacu data Siskohat hingga hari ke-42 operasional ibadah haji, jemaah haji Indonesia yang meninggal paling banyak berada di Makkah dengan jumlah 167 jiwa. Lokasi kedua di Madinah (31 jiwa) dan 28 jiwa meninggal saat mabit di Mina dan Arafah. Perinciannya. 15 orang di Mina dan 13 orang di Arafah. Kemudian, jemaah yang wafat di Bandara ada sebanyak 9 orang.

Berdasarkan jenis kelamin, jemaah haji yang meninggal dunia didominasi laki-laki dengan jumlah sebanyak 148 orang (63 persen). Jemaah perempuan 87 orang atau 37 persen. Dari sisi usia, jemaah lansia atau di atas 64 tahun, paling mendominasi dengan jumlah kematian 135 orang (57,4 persen). Adapun jemaah berusia 41-64 tahun tercatat 100 orang (42,6 persen).

Jika mengacu asal embarkasi atau lokasi pemberangkatan haji, jemaah yang meninggal dunia tercatat paling banyak berasal dari SUB (Provinsi Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Timur) ada sebanyak 49 orang. Disusul embarkasi JKS (Jakarta-Bekasi) dengan jumlah 26 orang dan embarkasi JKG (Jakarta-Pondok Gede) sebanyak 25 orang.

Dengan angka tersebut, sejauh ini Indonesia menjadi negara dengan jumlah jemaahnya meninggal paling tinggi di musim haji 2025 dibandingkan negara-negara lain.

Kondisi itu menjadi catatan serius banyak kalangan. Terutama dari otoritas Arab Saudi. Mereka menyoroti tranparansi data kondisi kesehatan jemaah sebelum berangkat ke Tanah Suci. Padahal, sesuai syariat, haji hanya diwajibkan bagi mereka yang isthitaah. Mampu fisik maupun finansial. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Supardi


No More Posts Available.

No more pages to load.