Saat Bendera One Piece Jadi Cermin

oleh -286 Dilihat
HUD BARU OKE

OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)

SEPULUH tahun. Bukan waktu yang sebentar. Tapi itulah yang terjadi pada ekonomi negeri ini. Jalan di tempat. Bahkan sesekali mundur. GDP per kapita—istilah keren untuk berapa banyak hasil panen ekonomi yang didapat setiap kepala—mandek di angka 5.000 dolar. Sekitar Rp 75 juta per tahun. Kalau dibagi 12 bulan, kira-kira Rp 6 jutaan per bulan.

Tahun ini, malah merosot ke 4.500 dolar. Padahal, kalau mau lepas dari jebakan negara nanggung–para ekonom menyebutnya middle income trap—hari ini kita seharusnya sudah di 12.000 dolar per orang.

Bahasa kampungnya, ibarat sawah, panen per orang tidak tambah banyak. Penduduk makin banyak, tapi sawahnya itu-itu saja. Hasil panen dibagi rata, malah dapatnya berkurang. Dulu, satu orang bisa bawa pulang satu karung beras. Sekarang, setengah karung pun sudah syukur.

Kenapa begitu? Karena kita masih main di level ani-ani, sementara tetangga sudah pakai traktor. Kita masih senang jual gabah, bukan beras premium, apalagi kue beras yang dijual di supermarket Singapura. Tambang kita? Dikirim mentah. Sawit kita? Dijual cuma dalam bentuk CPO. Karet kita? Ya, lembaran mentah. Kita mau naik kelas, tapi papan tangganya tak pernah kita bangun.

Di kampung, kalau sawahnya itu-itu saja, panen tidak akan tiba-tiba berlipat ganda. Tapi di ekonomi, sawahnya bisa kita perbesar, pupuknya bisa kita tambah, bahkan gabahnya bisa diolah jadi produk yang lebih mahal. Itu yang tidak kita lakukan selama ini.

Ada yang lebih menarik. Siapa yang menguasai sawah besar itu? Bukan semua orang, bukan rakyat banyak. Hanya segelintir orang kaya dan berkuasa. Anda sudah tahu, itulah yang disebut oligarki. Mereka inilah yang memegang kunci lumbung padi ekonomi. Mereka yang menulis aturan main. Mereka yang menentukan harga gabah. Eh, maksudnya, harga komoditas, proyek, dan tender besar.

Rakyat banyak? Jadi penonton. Atau paling banter jadi buruh tani. Uang berputar di lingkaran mereka-mereka saja. Makanya GDP per kapita itu mentok. Yang kaya makin superkaya, yang biasa-biasa saja cuma kebagian remah.

Kalau kita mau keluar dari jebakan tersebut, tidak cukup bicara visi. Harus berani naik kelas produksi. Dari yang hanya menanam gabah, harus berani menggilingnya jadi beras wangi. Dari menjual sawit mentah, harus bisa bikin minyak goreng, sabun, bahkan kosmetik merek sendiri.

Dan yang paling penting, lingkaran oligarki harus dipecah-pecah sehingga sawah ekonomi bisa digarap lebih banyak orang.

Tidak heran kalau belakangan ini, sindiran itu muncul di jalanan dan rumah-rumah. Bendera One Piece berkibar. Lucu tapi pedih. Anak-anak muda lebih percaya ”bajak laut” ketimbang janji ekonomi. Mereka menertawakan kenyataan, tapi diam-diam hatinya mengeluh. Bendera itu seperti berkata: Keadilan ekonomi sedang dibajak, rakyat cuma jadi penumpang kapal.

Melihat kenyataan itu, Presiden Prabowo Subianto seperti tengah berupaya membanting setir. Dia memutar haluan dengan Asta Cita-nya. Papan tangga yang selama ini hilang, coba dipasang lagi.

Sebut saja, MBG  untuk memastikan generasi mendatang tidak tumbuh kerdil. Sekolah Rakyat untuk akses pemerataan pendidikan, swasembada pangan untuk memastikan perut rakyat tidak tergantung negara lain. Koperasi merah putih untuk mengumpulkan kekuatan rakyat kecil agar bisa ikut main di pasar besar. Reformasi tanah supaya sawah-sawah ekonomi tidak hanya dikuasai segelintir orang.

Program-program demikian itu terdengar seperti papan tangga yang kita rindukan. Tapi papan tangga tersebut harus kuat, akuntabel, dan terbuka.

Masyarakat harus bisa melihatnya, bahkan ikut memijak dan mengawasi. Jangan sampai niat baik memeratakan sawah ekonomi malah melahirkan oligarki-oligarki baru. Sebab, sejarah kita sudah cukup jelas. Begitu sawah dikuasai segelintir orang, panennya cepat habis, rakyat cuma kebagian gabah sisa.

Di desa, kalau panen bagus, semua orang akan tahu. Padi menunduk, jalanan harum jerami, dan suara tawa terdengar sampai malam. Begitu pula ekonomi. Kalau panen ekonomi kita benar-benar meningkat, rakyat akan merasakannya sebelum pemerintah mengumumkannya. Harga cabai turun, uang jajan anak cukup, kios di pasar ramai lagi.

Harapan itu tetap ada. Tapi kita ingin melihat bahwa kapal yang kini dikemudikan benar-benar berbeda dari sepuluh tahun kemarin. Bahwa bukan hanya bendera One Piece yang berkibar di jalanan, tapi juga bendera panen yang bisa dirasakan semua orang.

Kita sudah terlalu lama duduk di tepi sawah, menunggu giliran panen yang tak kunjung membesar. Sudah saatnya berdiri, menanam, dan memanen bersama. Semoga! (*)

*) M. SHOLAHUDDIN, penulis tinggal di Kabupaten Gresik

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini



No More Posts Available.

No more pages to load.