KabarBaik.co – Tindak lanjut serius dilakukan aparat penegak hukum menyusul instruksi Presiden Prabowo Subianto terkait maraknya peredaran beras oplosan di pasaran. Di Sidoarjo, tim Satgas Pangan Polresta Sidoarjo bersama Ditreskrimsus Polda Jatim berhasil mengungkap produksi beras premium ilegal bermerek SPG, dan menyita 12,5 ton beras oplosan dari tempat produksi di Kecamatan Krembung.
Langkah ini bermula dari sidak di Pasar Tradisional Larangan, Sidoarjo, pada 25 Juli 2025 lalu. Tim mencurigai kualitas beras bermerek SPG yang diklaim premium. Namun hasil pengecekan di kantor Bulog Surabaya mengungkap bahwa beras tersebut tidak sesuai mutu standar premium.
Selanjutnya, pada 29 Juli 2025, tim Satreskrim Polresta Sidoarjo mendatangi tempat produksi CV. Sumber Pangan Grup (SPG) milik MLH di Desa Keper, Kecamatan Krembung, Kabupaten Sidoarjo. Di lokasi tersebut, polisi menemukan fakta mencengangkan, pemilik usaha tidak mampu menunjukkan hasil uji laboratorium atas beras premium yang diproduksi.
“Pemilik CV SPG tidak mempunyai kompetensi atau pengetahuan dalam hal produksi beras premium,” tegas Kapolda Jatim Irjen. Pol. Nanang Avianto, dalam konferensi pers di TKP, Senin (4/8).
Ia juga menyatakan bahwa mesin produksi tidak pernah diuji kelayakan, dan ada kebohongan yang dilakukan mengenai pencantuman logo halal dan SNI. Hal ini menyusul sang pemilik tak mampu menunjukkan sertifikat resmi.
Uji laboratorium terhadap beras SPG menyimpulkan bahwa produk tidak memenuhi standar mutu SNI beras Premium No. 6128:2020, sebagaimana diatur dalam Permentan No. 31 Tahun 2017 serta Peraturan Badan Pangan Nasional No. 2 Tahun 2023. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa produsen sengaja menyesatkan konsumen.
“Beras merupakan kebutuhan pokok masyarakat, jangan sampai ada permainan soal mutu beras,” tandas Irjen Nanang. Ia menegaskan bahwa kasus ini akan ditangani secara serius dengan melibatkan ahli dari Badan Standarisasi Nasional, Disperindag Jatim, dan laboratorium uji mutu pangan.
Atas perbuatannya, tersangka MLH dikenakan Pasal 62 Jo. Pasal 8 ayat (1) huruf a, d, e, dan h UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman maksimal lima tahun penjara.
Sementara itu, polisi juga mengimbau masyarakat untuk melapor jika menemukan praktik serupa, melalui hotline 110. (*)